Trypanosomiasis: Menguak Kengerian di Balik Penyakit Tidur Afrika

Penyakit Tidur Afrika (Trypanosomiasis)

Trypanosomiasis Afrika, atau lebih dikenal sebagai penyakit tidur, adalah penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa dari genus Trypanosoma, yang ditularkan melalui gigitan lalat tsetse. Lalat ini umumnya ditemukan di daerah pedesaan di Afrika sub-Sahara, terutama di wilayah yang bergantung pada sektor pertanian, perikanan, peternakan, dan perburuan. Tidak semua spesies lalat tsetse menularkan penyakit ini, tetapi di daerah di mana lalat tsetse terinfeksi ditemukan, penyakit tidur bisa menyebar dengan cepat, meskipun distribusinya bervariasi dari satu desa ke desa lainnya.

Lalat tsetse, berukuran seperti lebah madu dengan warna abu-abu kecokelatan, menggigit di siang hari dan menyebabkan rasa sakit pada lokasi gigitan. Seseorang dapat terinfeksi parasit ini setelah gigitan lalat tsetse yang terinfeksi, dan parasit tersebut berkembang biak di tubuh manusia, menyebabkan berbagai gejala yang berbahaya.

Dua Bentuk Penyakit: Gambiense dan Rhodesiense

Penyakit tidur memiliki dua bentuk utama yang disebabkan oleh subspesies berbeda dari Trypanosoma brucei.

  1. Trypanosoma brucei gambiense yang menyebabkan penyakit tidur kronis, terutama ditemukan di Afrika Barat dan Tengah. Penyakit ini bisa berkembang selama bertahun-tahun tanpa gejala yang jelas, membuat diagnosis menjadi sulit hingga penyakit sudah mencapai sistem saraf pusat.
  2. Trypanosoma brucei rhodesiense yang lebih akut ditemukan di Afrika Timur dan Selatan, menyebabkan gejala dalam beberapa minggu setelah infeksi. Bentuk ini berkembang cepat dengan invasi multi-organ, termasuk otak, dan bisa berakibat fatal dalam hitungan bulan jika tidak segera diobati.

Selain itu, ada juga trypanosomiasis di Amerika Latin, yang dikenal sebagai penyakit Chagas, tetapi penyakit ini berbeda secara karakteristik dan vektor penularannya.

Trypanosomiasis pada Hewan

Hewan juga rentan terhadap infeksi Trypanosoma. Pada sapi Afrika, penyakit ini dikenal sebagai Nagana, dan menjadi tantangan besar bagi ekonomi pedesaan. Hewan peliharaan serta hewan liar bisa menjadi reservoir bagi parasit T. b. rhodesiense, yang dapat ditularkan ke manusia.

Distribusi dan Dampak Penyakit

Penyakit tidur terutama menyerang populasi pedesaan yang tinggal di daerah terpencil dengan akses terbatas ke layanan kesehatan. Keadaan ini diperparah oleh konflik, pengungsian, dan kemiskinan yang mempercepat penyebaran penyakit. Pada akhir abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20, beberapa epidemi besar terjadi, terutama di Uganda dan Cekungan Kongo.

Pengendalian penyakit mulai menunjukkan hasil pada 1960-an, dengan jumlah kasus turun drastis. Namun, penurunan pengawasan menyebabkan epidemi baru pada 1970-an. Pada 1998, sekitar 40.000 kasus dilaporkan, dengan perkiraan 300.000 kasus yang tidak terdeteksi. Kampanye besar-besaran dari WHO dan organisasi non-pemerintah berhasil menurunkan angka kejadian hingga titik terendah dalam sejarah. Pada 2022, kasus baru penyakit tidur tetap di bawah 1.000 per tahun.

Namun, distribusi penyakit masih tidak merata di berbagai negara. Republik Demokratik Kongo menyumbang 61% dari total kasus dalam lima tahun terakhir, sementara negara lain seperti Angola, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah juga melaporkan puluhan hingga ratusan kasus setiap tahunnya. Beberapa negara seperti Burkina Faso, Ghana, Kenya, dan Nigeria melaporkan kasus sporadis, sementara negara lain seperti Benin, Gambia, dan Liberia tidak melaporkan kasus selama lebih dari satu dekade.

Siklus Hidup

Siklus hidup Penyakit tidur (Trypanosomiasis)
Sumber Gambar : Centers for Disease Control and Prevention. (2020, November 2). African trypanosomiasis.

siklus hidup penyakit tidur Afrika (African Trypanosomiasis) yang melibatkan lalat tsetse:

Ketika lalat tsetse yang terinfeksi menggigit dan menghisap darah mamalia (seperti manusia), ia menyuntikkan parasit yang disebut tripomastigot metasiklik ke dalam kulit. Parasit ini kemudian masuk ke dalam sistem limfatik dan aliran darah. Di dalam tubuh inang, parasit berubah menjadi bentuk lain yang disebut tripomastigot aliran darah, yang menyebar ke berbagai bagian tubuh, seperti cairan limfa dan cairan tulang belakang. Parasit ini berkembang biak dengan cara membelah diri, dan seluruh proses infeksi ini berlangsung di luar sel-sel tubuh (ekstraseluler).

Jika lalat tsetse lain menggigit mamalia yang terinfeksi, lalat tersebut akan menelan parasit yang ada di dalam darah. Di dalam tubuh lalat, parasit ini berubah menjadi bentuk lain yang disebut tripomastigot prosiklik di usus tengah. Parasit ini berkembang biak dan kemudian berubah lagi menjadi epimastigot, yang kemudian berpindah ke kelenjar ludah lalat. Di sana, parasit terus berkembang biak, dan setelah sekitar 3 minggu, lalat tsetse siap menginfeksi inang baru.

Dalam kasus yang sangat jarang, infeksi T. b. gambiense (salah satu jenis parasit penyebab penyakit tidur) juga bisa ditularkan dari ibu hamil yang terinfeksi kepada bayinya saat dalam kandungan.

Infeksi dan Gejala

Infeksi dimulai dengan gigitan lalat tsetse, di mana parasit berkembang biak di darah, getah bening, dan jaringan subkutan. Tahap pertama, yang disebut tahap hemolimfatik, ditandai oleh demam, sakit kepala, pembengkakan kelenjar getah bening, dan nyeri sendi. Jika tidak diobati, parasit menyebar ke sistem saraf pusat, menyebabkan meningoensefalitis atau tahap kedua, di mana gejala neurologis seperti kebingungan, perubahan perilaku, dan gangguan tidur muncul. Tanpa pengobatan, penyakit ini hampir selalu berakibat fatal.

Diagnosis dan Pengobatan

Diagnosis penyakit tidur membutuhkan beberapa tahapan: mulai dari penyaringan serologis hingga pengamatan parasit di bawah mikroskop. Menentukan stadium penyakit sangat penting, terutama untuk memilih pengobatan yang tepat. Skrining aktif sangat diperlukan, terutama karena banyak kasus di daerah terpencil tidak terdeteksi hingga penyakit mencapai tahap lanjut.

Pengobatan tergantung pada bentuk dan stadium penyakit. Pada stadium awal gambiense, pengobatan menggunakan pentamidin yang biasanya ditoleransi dengan baik. Untuk stadium lanjut, kombinasi obat seperti eflornithine dan nifurtimox (NECT) digunakan. Pada rhodesiense, suramin digunakan pada tahap awal dan melarsoprol pada tahap kedua. Melarsoprol adalah obat yang sangat beracun dan memiliki risiko efek samping yang serius.

Pencegahan dan Rekomendasi

Pencegahan utama penyakit tidur adalah dengan melindungi diri dari gigitan lalat tsetse. Beberapa langkah pencegahan meliputi:

  • Menghindari daerah yang memiliki infestasi lalat tsetse.
  • Mengenakan pakaian yang tebal dan berwarna terang.
  • Menggunakan penolak serangga, meskipun efektivitasnya terhadap lalat tsetse terbatas.

Mengetahui gejala awal penyakit tidur sangat penting bagi para pelancong ke Afrika sub-Sahara. Jika Anda merasa terinfeksi setelah perjalanan ke wilayah tersebut, segera konsultasikan dengan penyedia layanan kesehatan. Dengan penanganan yang tepat, Trypanosomiasis Afrika bisa dikendalikan, tetapi upaya berkelanjutan diperlukan untuk mencapai target WHO dalam menghilangkan penularan penyakit ini pada 2030.

Daftar Pustaka

Centers for Disease Control and Prevention. (2020, November 2). African trypanosomiasis. https://www.cdc.gov/dpdx/trypanosomiasisafrican/index.html

World Health Organization. (n.d.). Trypanosomiasis human African (sleeping sickness). https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/trypanosomiasis-human-african-(sleeping-sickness)

Public Health Agency of Canada. (2018, May 15). Trypanosomiasis (African sleeping sickness). Government of Canada. https://www.canada.ca/en/public-health/services/diseases/trypanosomiasis.html

dr. Maria Alfiani Kusnowati
Author: dr. Maria Alfiani Kusnowati

Dokter Umum. Universitas Kristen Maranatha angkatan 2013. Internship di RSUD Waled dan Puskesmas Losari Kabupaten Cirebon (2019). Bekerja di RS Bunda Pengharapan Merauke, Papua Selatan (2020-2023).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top