Reaksi Hipersensitivitas: Respons Imun yang Berlebihan

Tipe Hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas adalah respons imun yang berlebihan atau tidak sesuai yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan penyakit. Reaksi ini biasanya terjadi ketika sistem kekebalan tubuh merespons secara berlebihan terhadap antigen yang sebenarnya tidak berbahaya, seperti debu, serbuk sari, atau makanan tertentu. Memahami jenis-jenis reaksi hipersensitivitas sangat penting dalam bidang kedokteran karena dapat membantu dalam diagnosis dan pengobatan penyakit terkait.

Klasifikasi Reaksi Hipersensitivitas

Pichler, Werner J. “Drug Hypersensitivity Reactions: Classification and Relationship to T-Cell Activation.” (2007). Klasifikasi reaksi hipersensitivitas

Reaksi hipersensitivitas diklasifikasikan menjadi empat jenis utama berdasarkan mekanisme imunologisnya. Klasifikasi ini dikenal sebagai klasifikasi Coombs dan Gell. Masing-masing tipe memiliki karakteristik dan mekanisme yang berbeda, serta berkaitan dengan berbagai penyakit dan kondisi klinis.

Tipe I: Hipersensitivitas Imunoglobulin E (IgE)

Mekanisme:

  • Pada hipersensitivitas tipe I, respons imun dimediasi oleh antibodi IgE. Ketika seseorang pertama kali terpapar dengan alergen (misalnya serbuk sari, makanan, atau bulu hewan), tubuh memproduksi IgE yang spesifik terhadap alergen tersebut.
  • IgE ini kemudian berikatan dengan reseptor pada permukaan sel mast dan basofil. Pada paparan berikutnya terhadap alergen yang sama, alergen berikatan dengan IgE yang sudah menempel pada sel-sel tersebut, menyebabkan degranulasi dan pelepasan histamin serta mediator inflamasi lainnya.

Manifestasi Klinis:

  • Reaksi ini biasanya terjadi dalam hitungan menit hingga beberapa jam setelah paparan alergen.
  • Gejala yang timbul termasuk urtikaria (biduran), angioedema, rinitis alergi, asma alergi, dan anafilaksis.

Contoh Penyakit:

  • Asma alergi
  • Rinitis alergi
  • Anafilaksis
  • Alergi makanan

Tipe II: Hipersensitivitas Sitotoksik

Mekanisme:

  • Pada hipersensitivitas tipe II, respons imun dimediasi oleh antibodi IgG atau IgM yang berikatan dengan antigen yang berada di permukaan sel target.
  • Antibodi ini kemudian mengaktifkan sistem komplemen atau menarik sel efektor seperti makrofag dan sel NK, yang menyebabkan lisis sel atau opsonisasi sel (penandaan untuk fagositosis).

Manifestasi Klinis:

  • Reaksi ini dapat menyebabkan kerusakan jaringan dan organ karena penghancuran sel-sel tubuh sendiri.

Contoh Penyakit:

  • Anemia hemolitik autoimun: Antibodi menyerang sel darah merah, menyebabkan hemolisis.
  • Penyakit Graves: Antibodi merangsang reseptor tiroid, menyebabkan hipertiroidisme.
  • Sindrom Goodpasture: Antibodi menyerang membran basal glomerulus dan alveolus, menyebabkan kerusakan ginjal dan paru-paru.

Tipe III: Hipersensitivitas Kompleks Imun

Mekanisme:

  • Pada hipersensitivitas tipe III, kompleks imun (gabungan antigen dan antibodi) terbentuk di dalam sirkulasi dan kemudian mengendap di jaringan tertentu.
  • Pengendapan ini memicu aktivasi komplemen dan menarik sel-sel inflamasi, seperti neutrofil, yang menyebabkan peradangan dan kerusakan jaringan.

Manifestasi Klinis:

  • Reaksi ini dapat menyebabkan penyakit sistemik atau organ-spesifik tergantung pada lokasi pengendapan kompleks imun.

Contoh Penyakit:

  • Lupus eritematosus sistemik (SLE): Kompleks imun mengendap di berbagai organ, termasuk kulit, ginjal, dan sendi.
  • Artritis reumatoid: Kompleks imun mengendap di sendi, menyebabkan peradangan kronis.
  • Glomerulonefritis post-streptokokus: Kompleks imun mengendap di glomeruli ginjal setelah infeksi streptokokus.

Tipe IV: Hipersensitivitas Tertunda (Delayed-Type Hypersensitivity, DTH)

Mekanisme:

  • Pada hipersensitivitas tipe IV, respons imun dimediasi oleh sel T. Ketika antigen dipresentasikan oleh sel-sel penyaji antigen (APC) kepada sel T helper (Th1 atau Th17), sel T akan mengenali dan merespons antigen tersebut.
  • Respons ini melibatkan pelepasan sitokin oleh sel T yang menyebabkan rekrutmen dan aktivasi makrofag dan sel-sel inflamasi lainnya ke lokasi antigen, yang mengakibatkan peradangan dan kerusakan jaringan.

Manifestasi Klinis:

  • Reaksi ini biasanya berkembang dalam 48-72 jam setelah paparan antigen.

Contoh Penyakit:

  • Dermatitis kontak alergi: Respons terhadap alergen seperti nikel, lateks, atau racun tanaman (misalnya poison ivy).
  • Tuberkulosis: Respons terhadap Mycobacterium tuberculosis, menyebabkan pembentukan granuloma.
  • Diabetes mellitus tipe 1: Respons autoimun terhadap sel beta pankreas yang memproduksi insulin.

Perkembangan Terbaru dalam Penelitian Reaksi Hipersensitivitas

Penelitian terbaru tentang reaksi hipersensitivitas terus berkembang seiring dengan kemajuan dalam bidang imunologi dan bioteknologi. Fokus utamanya adalah memahami lebih dalam mekanisme dasar reaksi ini dan menemukan terapi baru yang lebih efektif dan spesifik. Berikut adalah beberapa perkembangan terbaru yang penting di bidang ini.

Terapi Biologis

Terapi biologis atau biologik merupakan salah satu area yang sangat berkembang dalam pengobatan reaksi hipersensitivitas, terutama pada penyakit-penyakit seperti asma berat dan dermatitis atopik. Biologik adalah obat-obatan yang dibuat dari organisme hidup dan menargetkan molekul spesifik dalam jalur inflamasi.

  1. Antagonis Reseptor IL-4 dan IL-13
  2. Dupilumab adalah contoh terapi biologis yang telah menunjukkan efektivitas dalam mengobati dermatitis atopik dan asma berat. Obat ini bekerja dengan menghambat reseptor IL-4 dan IL-13, dua sitokin yang berperan penting dalam respons alergi dan inflamasi.
  3. Antagonis IL-5
  4. Mepolizumab dan Benralizumab adalah antibodi monoklonal yang menargetkan IL-5 atau reseptornya, mengurangi jumlah eosinofil dalam darah dan jaringan, yang sangat efektif dalam mengendalikan asma eosinofilik.

Penggunaan Probiotik dan Mikrobioma

Penelitian tentang mikrobioma manusia telah membuka wawasan baru tentang bagaimana komunitas mikroba dalam tubuh mempengaruhi kesehatan imunologis, termasuk respons alergi.

  1. Probiotik
  2. Beberapa studi menunjukkan bahwa suplementasi dengan probiotik tertentu dapat mengurangi kejadian alergi pada anak-anak dan mengurangi keparahan dermatitis atopik. Strain seperti Lactobacillus rhamnosus dan Bifidobacterium lactis telah diteliti secara luas dalam konteks ini.
  3. Manipulasi Mikrobioma
  4. Penelitian sedang berlangsung untuk memahami bagaimana manipulasi mikrobioma usus dapat digunakan sebagai terapi potensial untuk alergi dan asma. Ini termasuk penggunaan prebiotik, probiotik, dan transplantasi mikrobioma.

Imunoterapi Spesifik Alergen (AIT)

Imunoterapi spesifik alergen (AIT) adalah metode pengobatan yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan gejala alergi dengan menginduksi toleransi imun terhadap alergen tertentu. AIT sering digunakan untuk mengobati berbagai jenis alergi, termasuk rinitis alergi, asma alergi, dan alergi terhadap gigitan serangga.

Mekanisme Kerja AIT

AIT bekerja dengan cara memperkenalkan alergen dalam dosis kecil dan meningkat secara bertahap ke tubuh pasien. Proses ini bertujuan untuk mengubah respons imun tubuh terhadap alergen dari reaksi alergi yang berlebihan menjadi toleransi atau respons yang lebih terkontrol. Mekanisme utama yang terlibat meliputi:

  1. Modulasi Sel T: AIT meningkatkan jumlah sel T regulator (Treg) yang berfungsi menekan reaksi imun yang berlebihan terhadap alergen.
  2. Perubahan Profil Sitokin: Terapi ini mengubah profil sitokin dari dominasi Th2 (yang mendukung reaksi alergi) ke dominasi Th1 atau peningkatan produksi sitokin antiinflamasi seperti IL-10 dan TGF-β.
  3. Penurunan IgE Spesifik: AIT mengurangi produksi IgE spesifik terhadap alergen dan meningkatkan produksi IgG4, yang berfungsi sebagai blocking antibodies untuk menghambat interaksi antara alergen dan IgE.

Bentuk-bentuk AIT

1. Subcutaneous Immunotherapy (SCIT):

Definisi: SCIT melibatkan injeksi alergen di bawah kulit dalam dosis yang meningkat secara bertahap.

Keuntungan: SCIT telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala alergi jangka panjang dan memperbaiki kualitas hidup pasien.

Keterbatasan: SCIT memerlukan kunjungan rutin ke klinik, biasanya selama 3-5 tahun, dan ada risiko reaksi sistemik yang lebih tinggi.

2. Sublingual Immunotherapy (SLIT):

Definisi: SLIT melibatkan pemberian alergen dalam bentuk tablet atau cairan yang diletakkan di bawah lidah.

Keuntungan: SLIT lebih nyaman bagi pasien karena dapat dilakukan di rumah dan memiliki profil keamanan yang lebih baik dibandingkan SCIT.

Keterbatasan: Efektivitas SLIT dalam beberapa kasus mungkin lebih rendah dibandingkan dengan SCIT, dan pasien harus berkomitmen untuk mematuhi regimen pengobatan yang panjang.

3. Oral Immunotherapy (OIT):

Definisi: OIT terutama digunakan untuk alergi makanan, melibatkan pemberian alergen makanan dalam dosis kecil yang meningkat secara bertahap.

Keuntungan: OIT dapat mengurangi sensitivitas terhadap alergen makanan dan meningkatkan ambang reaksi terhadap paparan alergen.

Keterbatasan: Risiko reaksi alergi selama terapi lebih tinggi, dan efektivitas jangka panjang serta keamanan masih dalam penelitian lebih lanjut.

Efektivitas dan Keamanan AIT

Efektivitas:

  • Rinitis Alergi dan Asma: AIT telah terbukti efektif dalam mengurangi gejala rinitis alergi dan asma, serta mengurangi kebutuhan obat-obatan tambahan.
  • Alergi Serangga: SCIT sangat efektif dalam mencegah reaksi alergi parah terhadap gigitan serangga, seperti lebah dan tawon.

Keamanan:

  • Reaksi Lokal: Efek samping lokal seperti pembengkakan dan kemerahan di tempat suntikan (untuk SCIT) atau iritasi mulut (untuk SLIT) umum terjadi tetapi biasanya ringan.
  • Reaksi Sistemik: Reaksi sistemik seperti urtikaria, angioedema, atau anafilaksis lebih jarang terjadi, tetapi memerlukan pengawasan medis yang ketat, terutama pada tahap awal terapi.

Perkembangan Terbaru dalam AIT

  1. Personalized AIT:
    • Pendekatan Personal: Penggunaan biomarker untuk mempersonalisasi regimen AIT berdasarkan profil imun individu pasien dan respons terhadap terapi.
    • Pemantauan Respons: Teknologi baru memungkinkan pemantauan respons imun pasien secara lebih akurat untuk menyesuaikan dosis dan durasi terapi.
  1. AIT Berbasis Peptida:
    • Desensitisasi yang Lebih Aman: Penggunaan peptida alergen yang diidentifikasi secara spesifik untuk mengurangi risiko reaksi alergi selama terapi.
    • Keuntungan: Peptida memiliki potensi untuk menginduksi toleransi imun dengan risiko efek samping yang lebih rendah.
  1. Kombinasi AIT dengan Terapi Biologis:
    • Terapi Kombinasi: Penggunaan AIT bersamaan dengan obat biologis seperti omalizumab (antibodi anti-IgE) untuk meningkatkan efektivitas dan keamanan terapi.
    • Hasil Penelitian: Studi menunjukkan bahwa kombinasi ini dapat mempercepat pencapaian toleransi dan mengurangi risiko reaksi alergi.

Imunoterapi spesifik alergen (AIT) merupakan pendekatan yang efektif dan aman untuk mengobati berbagai jenis alergi dengan menginduksi toleransi imun terhadap alergen tertentu. Dengan berbagai bentuk seperti SCIT, SLIT, dan OIT, AIT dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu pasien. Perkembangan terbaru dalam AIT, termasuk pendekatan personal, penggunaan peptida, dan terapi kombinasi dengan obat biologis, menawarkan harapan baru untuk meningkatkan hasil terapi dan kualitas hidup pasien alergi.

Nanoteknologi dalam Terapi Hipersensitivitas

Nanoteknologi adalah bidang ilmu yang memanipulasi materi pada skala nanometer (1-100 nm) untuk menghasilkan bahan dan perangkat baru dengan sifat dan fungsi yang unik. Dalam konteks terapi hipersensitivitas, nanoteknologi menawarkan berbagai pendekatan inovatif untuk meningkatkan efektivitas, spesifisitas, dan keamanan pengobatan.

1. Pengiriman Obat yang Ditargetkan

Nanopartikel:

  • Definisi: Nanopartikel adalah partikel dengan ukuran sangat kecil, sering kali dibuat dari bahan seperti lipida, polimer, atau logam.
  • Keunggulan: Nanopartikel dapat dimodifikasi untuk mengangkut obat secara spesifik ke sel target, mengurangi efek samping sistemik dan meningkatkan konsentrasi obat di lokasi yang diinginkan.

Aplikasi:

  • Alergi: Nanopartikel yang dimuat dengan antihistamin atau kortikosteroid dapat dirancang untuk mengakumulasi di lokasi peradangan, seperti pada kasus rinitis alergi atau dermatitis atopik, sehingga memberikan pengobatan yang lebih efektif dan cepat.
  • Asma: Nanopartikel inhalasi yang mengandung bronkodilator atau steroid dapat memberikan pelepasan obat yang terkontrol dan ditargetkan langsung ke paru-paru, meningkatkan respons terapeutik dan mengurangi dosis yang diperlukan.

2. Vaksin Alergi

Vaksin Alergi Berbasis Nanoteknologi:

  • Prinsip: Vaksin alergi bertujuan untuk menginduksi toleransi imun terhadap alergen tertentu dengan memberikan dosis alergen yang terkendali.
  • Nanopartikel sebagai Pembawa: Penggunaan nanopartikel untuk mengantarkan alergen dapat meningkatkan efisiensi vaksin dengan melindungi alergen dari degradasi sebelum mencapai sistem imun dan memungkinkan pelepasan yang terkontrol.

Keunggulan:

  • Dosis Rendah dan Efek Samping Minimal: Dengan pengantaran yang lebih efisien, dosis alergen yang diperlukan dapat dikurangi, mengurangi risiko efek samping.
  • Induksi Toleransi yang Lebih Baik: Nanopartikel dapat membantu dalam mengarahkan alergen ke sel imun tertentu yang berperan dalam toleransi imun, seperti sel dendritik.

3. Diagnostik dan Monitoring

Biosensor Berbasis Nanoteknologi:

  • Definisi: Biosensor adalah perangkat yang menggunakan bahan biologis untuk mendeteksi zat tertentu.
  • Nanoteknologi dalam Biosensor: Penggunaan nanopartikel, nanowire, atau nanotube dapat meningkatkan sensitivitas dan spesifisitas biosensor.

Aplikasi:

  • Deteksi Alergen: Biosensor berbasis nanoteknologi dapat digunakan untuk mendeteksi keberadaan alergen dalam sampel makanan atau lingkungan dengan cepat dan akurat, membantu individu dengan alergi untuk menghindari paparan.
  • Monitoring Respons Imun: Biosensor juga dapat digunakan untuk memonitor respons imun pasien terhadap terapi alergi, memungkinkan penyesuaian dosis dan strategi terapi secara real-time.

4. Terapi Gen dan Nanoteknologi

Pengantaran Komponen Editasi Gen:

  • Nanocarrier: Nanocarrier adalah sistem pengantaran berbasis nanopartikel yang digunakan untuk mengangkut molekul terapeutik, termasuk komponen editasi gen seperti CRISPR-Cas9.
  • Keunggulan: Nanocarrier dapat melindungi komponen editasi gen dari degradasi, meningkatkan penyerapan oleh sel target, dan mengurangi efek samping.

Aplikasi:

  • Alergi: Penggunaan nanocarrier untuk mengantarkan CRISPR-Cas9 yang dirancang untuk mengedit gen yang terlibat dalam respons alergi, seperti gen pengkode IgE, dapat menawarkan pendekatan baru untuk pengobatan alergi berat.
  • Autoimun: Nanocarrier yang mengantarkan CRISPR-Cas9 untuk mengedit gen yang terlibat dalam penyakit autoimun dapat membantu dalam mengurangi atau menghilangkan reaksi autoimun yang merusak.

Nanoteknologi menawarkan berbagai inovasi dalam pengobatan hipersensitivitas, termasuk pengiriman obat yang ditargetkan, vaksin alergi yang lebih efisien, diagnostik yang lebih akurat, dan pengantaran komponen editasi gen. Dengan kemampuan untuk meningkatkan spesifisitas dan efisiensi pengobatan, nanoteknologi memiliki potensi besar untuk mengubah cara kita mengelola dan mengobati berbagai kondisi hipersensitivitas, dari alergi hingga penyakit autoimun. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut dan uji klinis diperlukan untuk memastikan keamanan dan efektivitas pendekatan ini sebelum dapat diadopsi secara luas dalam praktik klinis.

Editasi Gen dalam Penelitian Hipersensitivitas

Teknologi editasi gen seperti CRISPR-Cas9 membuka peluang baru untuk mengubah komponen spesifik dari sistem imun. Teknologi ini tidak hanya memungkinkan para ilmuwan untuk memahami lebih dalam tentang mekanisme reaksi hipersensitivitas, tetapi juga menawarkan potensi terapi yang inovatif dan lebih efektif.

1. Terapi Gen untuk Alergi dan Asma

Penelitian Awal dan Potensi Terapi:

  • Pengeditan Gen IgE: IgE adalah antibodi yang berperan penting dalam reaksi alergi tipe I. Ketika seseorang terpapar alergen, IgE yang sudah menempel pada sel mast dan basofil akan memicu pelepasan histamin dan mediator inflamasi lainnya, yang menyebabkan gejala alergi.
    • CRISPR-Cas9: Dengan teknologi CRISPR-Cas9, para peneliti dapat mengedit gen yang mengkode untuk IgE. Mengurangi atau menghilangkan produksi IgE dapat menurunkan respons alergi tubuh terhadap alergen.
    • Studi Pra-Klinis: Studi pada model tikus telah menunjukkan bahwa mengedit gen IgE dapat mengurangi gejala alergi dan mencegah reaksi alergi yang parah. Penelitian ini menunjukkan bahwa terapi berbasis CRISPR dapat memberikan solusi yang lebih permanen dibandingkan dengan terapi alergi konvensional yang hanya bersifat sementara.
  • Pengeditan Gen pada Sel T dan Sel B: Selain IgE, sel T dan sel B juga memainkan peran penting dalam reaksi alergi dan asma.
    • Modulasi Sel T: CRISPR dapat digunakan untuk mengedit gen yang mengatur aktivitas sel T, seperti mengurangi populasi sel T yang memproduksi sitokin pro-inflamasi yang berkontribusi pada asma dan alergi.
    • Regulasi Sel B: Mengedit gen pada sel B yang memproduksi antibodi spesifik terhadap alergen juga dapat menjadi strategi untuk mengurangi respons alergi.

Keuntungan:

  • Pengobatan Permanen: Editasi gen menawarkan potensi pengobatan yang lebih permanen dibandingkan dengan terapi konvensional yang sering kali membutuhkan pengobatan berulang.
  • Pengurangan Efek Samping: Dengan menargetkan komponen spesifik dari sistem imun, terapi ini dapat mengurangi efek samping yang terkait dengan obat-obatan sistemik.

Tantangan:

  • Keamanan: Potensi efek samping seperti off-target effects, di mana CRISPR mungkin memotong DNA di lokasi yang tidak diinginkan, tetap menjadi perhatian utama.
  • Efisiensi Pengiriman: Mengirimkan komponen CRISPR ke sel target di dalam tubuh dengan efisiensi dan presisi yang tinggi masih menjadi tantangan teknis.
  • Regulasi: Peraturan dan persetujuan dari badan pengawas obat dan kesehatan masih diperlukan untuk penerapan klinis terapi berbasis CRISPR.

2. Terapi Gen untuk Penyakit Autoimun

Mekanisme Autoimun:

  • Pengeditan Gen pada Sel T dan Sel B: Penyakit autoimun sering kali disebabkan oleh sel T atau sel B yang menyerang jaringan tubuh sendiri.
    • Modulasi Sel T: Mengedit gen yang mengkode untuk reseptor sel T dapat mencegah sel T menyerang jaringan tubuh sendiri. Misalnya, mengedit gen CTLA-4 atau PD-1 dapat meningkatkan toleransi imun dan mengurangi reaksi autoimun.
    • Penargetan Sel B: Mengedit gen pada sel B yang memproduksi autoantibodi dapat mengurangi serangan terhadap jaringan tubuh yang salah dikenali sebagai ancaman.

Contoh Penyakit:

  • Lupus Eritematosus Sistemik (SLE): Pengeditan gen untuk mengurangi produksi autoantibodi dapat mengurangi gejala lupus.
  • Artritis Reumatoid: Modifikasi genetik pada sel imun yang terlibat dalam peradangan sendi dapat mengurangi kerusakan sendi dan gejala artritis.

3. Terapi Gen untuk Penyakit Genetik yang Melibatkan Hipersensitivitas

Penyakit Genetik:

  • Defisiensi Imun Primer: Beberapa kondisi defisiensi imun primer dapat menyebabkan hipersensitivitas atau reaksi alergi yang berlebihan.
    • Pengeditan Gen untuk SCID (Severe Combined Immunodeficiency): CRISPR dapat digunakan untuk memperbaiki mutasi pada gen yang menyebabkan SCID, seperti mutasi pada gen ADA atau RAG1/RAG2.
    • Modifikasi Genetik untuk WAS (Wiskott-Aldrich Syndrome): Pengeditan gen pada pasien dengan WAS dapat memperbaiki fungsi trombosit dan sel imun, mengurangi risiko infeksi dan reaksi alergi yang berlebihan.

4. Terapi Gen untuk Meningkatkan Toleransi Imun

Induksi Toleransi Imun:

  • Penerapan pada Transplantasi Organ: CRISPR dapat digunakan untuk mengedit gen pada sel imun penerima transplantasi untuk meningkatkan toleransi terhadap organ yang ditransplantasikan, mengurangi risiko penolakan organ.
  • Pengeditan Gen untuk Penyakit Celiac: Modifikasi genetik pada sel T untuk mengurangi reaktivitas terhadap gluten dapat membantu mengelola penyakit celiac.

Teknologi editasi gen, terutama CRISPR-Cas9, menawarkan prospek yang menjanjikan untuk pengobatan berbagai kondisi yang melibatkan reaksi hipersensitivitas. Dengan kemampuan untuk mengedit gen yang terlibat dalam respons imun, terapi ini berpotensi memberikan solusi yang lebih permanen dan efektif dibandingkan dengan terapi konvensional. Meskipun demikian, penelitian lebih lanjut dan uji klinis diperlukan untuk memastikan keamanan dan efektivitasnya sebelum dapat diadopsi secara luas dalam praktik klinis.

Daftar Pustaka

  1. Bousquet, J., Lockey, R., & Malling, H. J. (1998). Allergen immunotherapy: therapeutic vaccines for allergic diseases. A WHO Position Paper. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 102(4 Pt 1), 558-562.
  2. Canonica, G. W., Cox, L., Pawankar, R., Baena-Cagnani, C. E., Blaiss, M., Bonini, S., … & Valovirta, E. (2014). Sublingual immunotherapy: World Allergy Organization position paper 2013 update. World Allergy Organization Journal, 7(1), 6.
  3. Creticos, P. S., Schroeder, J. T., Hamilton, R. G., Balcer-Whaley, S., Khattignavong, A. P., Lindblad, R., … & Norman, P. S. (2006). Immunotherapy with a ragweed-toll-like receptor 9 agonist vaccine for allergic rhinitis. New England Journal of Medicine, 355(14), 1445-1455.
  4. De Jong, W. H., & Borm, P. J. (2008). Drug delivery and nanoparticles: applications and hazards. International Journal of Nanomedicine, 3(2), 133-149.
  5. Durham, S. R., Walker, S. M., Varga, E. M., Jacobson, M. R., O’Brien, F., Noble, W., … & Till, S. J. (1999). Long-term clinical efficacy of grass-pollen immunotherapy. New England Journal of Medicine, 341(7), 468-475.
  6. Jutel, M., Agache, I., Bonini, S., Burks, A. W., Calderon, M., Canonica, G. W., … & Sheikh, A. (2015). International consensus on allergy immunotherapy. Journal of Allergy and Clinical Immunology, 136(3), 556-568.
  7. Paliwal, S. R., & Paliwal, R. (2014). Nanoparticles and their role in targeted drug delivery systems. International Journal of Pharmacy and Pharmaceutical Sciences, 6(1), 1-7.
  8. Peer, D., Karp, J. M., Hong, S., Farokhzad, O. C., Margalit, R., & Langer, R. (2007). Nanocarriers as an emerging platform for cancer therapy. Nature Nanotechnology, 2(12), 751-760.
  9. Riediker, M., & Kreyling, W. G. (2010). Nanoparticles: a review of key properties, current toxicology testing, and regulatory perspectives. Nanotoxicology, 4(4), 394-406.
  10. Zhang, L., Gu, F. X., Chan, J. M., Wang, A. Z., Langer, R. S., & Farokhzad, O. C. (2008). Nanoparticles in medicine: therapeutic applications and developments. Clinical Pharmacology & Therapeutics, 83(5), 761-769.
dr. Maria Alfiani Kusnowati
Author: dr. Maria Alfiani Kusnowati

Dokter Umum. Universitas Kristen Maranatha angkatan 2013. Internship di RSUD Waled dan Puskesmas Losari Kabupaten Cirebon (2019). Bekerja di RS Bunda Pengharapan Merauke, Papua Selatan (2020-2023).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top