Demam berdarah dengue (DBD) merupakan salah satu penyakit yang menjadi perhatian kesehatan masyarakat global, termasuk di Indonesia. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus. Gejala demam berdarah bisa bervariasi dari ringan hingga berat, dan dalam kasus tertentu, dapat menyebabkan kematian. Artikel ini akan membahas epidemiologi global dan nasional, prevalensi terkini, gejala, serta penanganan dan pencegahan penyakit demam berdarah dengue.
Pengertian Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue adalah penyakit virus akut yang ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes, terutama Aedes aegypti. Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang termasuk dalam genus Flavivirus, dengan empat serotipe berbeda (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4). Infeksi oleh salah satu serotipe tidak memberikan imunitas penuh terhadap serotipe lainnya, sehingga memungkinkan seseorang terinfeksi lebih dari satu kali.
Epidemiologi dan Prevalensi Demam Berdarah Dengue di Indonesia dan Global
Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi masalah kesehatan yang serius secara global, terutama di negara-negara tropis. Saat ini, sekitar 390 juta infeksi dengue terjadi setiap tahun di seluruh dunia, dengan Asia Tenggara menjadi wilayah yang paling terdampak. Wilayah tropis seperti Amerika Latin dan Afrika juga mengalami peningkatan kasus, tetapi Asia menyumbang lebih dari 70% total kasus yang dilaporkan ke WHO. Peningkatan insiden global hingga 30 kali lipat dalam lima dekade terakhir juga dipengaruhi oleh perubahan iklim, urbanisasi, dan mobilitas manusia.
Di Indonesia, DBD telah menjadi endemik dengan kasus yang meningkat setiap tahun, terutama selama musim hujan. Data terbaru dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menunjukkan bahwa hingga pertengahan tahun 2024, tercatat 88.593 kasus DBD dengan 621 kematian yang tersebar di 174 kabupaten/kota di 28 provinsi. Sebelumnya, di tahun 2023, jumlah kasus mencapai 110.921, dengan tingkat kematian (CFR) sebesar 0,89%. Wilayah dengan insiden tertinggi meliputi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Nusa Tenggara Timur. Pada tahun 2022 tercatat lebih dari 110.000 kasus DBD, dengan sekitar 980 kematian. Angka ini menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya, yang mencatat sekitar 95.000 kasus. dengan tingkat kematian (CFR) sebesar 0,89%, yang meningkat dibandingkan tahun 2021.
Lonjakan kasus ini tidak hanya terjadi selama musim hujan tetapi juga dilaporkan di musim kemarau. Hal ini disebabkan oleh nyamuk Aedes aegypti yang tetap aktif berkembang biak di genangan air yang tidak terkuras. Berdasarkan laporan Kemenkes, peningkatan kasus pada musim kemarau 2024 dipicu oleh perubahan pola cuaca dan suhu yang lebih tinggi, yang mempercepat siklus hidup nyamuk.
Kemenkes telah meluncurkan enam strategi nasional untuk menanggulangi DBD, antara lain penguatan manajemen vektor, peningkatan akses layanan kesehatan, dan program pencegahan melalui vaksinasi serta inovasi penggunaan nyamuk yang mengandung Wolbachia untuk menurunkan kemampuan virus berkembang.
Melihat prevalensi yang tinggi dan potensi penyebaran yang terus meningkat, sangat penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dalam melakukan tindakan preventif, seperti Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) 3M Plus, yaitu menguras, menutup, dan mendaur ulang barang-barang yang dapat menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
Faktor Risiko Penyebaran Demam Berdarah Dengue (DBD)
Demam berdarah dengue (DBD) menyebar melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus, yang merupakan vektor utama penyebaran virus dengue. Beberapa faktor risiko mempercepat penyebaran penyakit ini, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia. Berikut ini adalah beberapa faktor utama yang berperan dalam peningkatan kasus DBD:
Perubahan Iklim
Peningkatan suhu global dan perubahan pola curah hujan secara signifikan memengaruhi siklus hidup nyamuk Aedes. Nyamuk ini lebih aktif berkembang biak pada suhu yang lebih hangat dan kelembaban tinggi. Di beberapa wilayah, suhu tinggi pada musim kemarau justru menciptakan genangan air di lingkungan manusia, seperti pada penampungan air yang tidak tertutup rapat atau bekas ban mobil, yang menjadi tempat berkembang biaknya nyamuk.
Urbanisasi Cepat dan Kepadatan Penduduk
Di daerah perkotaan dengan populasi yang padat, penyebaran nyamuk terjadi lebih cepat karena ruang tinggal manusia dan nyamuk sering kali sangat dekat. Drainase yang buruk dan pengelolaan sampah yang tidak memadai di daerah perkotaan meningkatkan risiko genangan air, tempat favorit bagi nyamuk untuk bertelur.
Mobilitas dan Pergerakan Penduduk
Meningkatnya perjalanan domestik dan internasional, terutama di negara-negara tropis, memudahkan penyebaran virus dengue dari satu wilayah ke wilayah lain. Hal ini menciptakan rantai infeksi yang sulit dikendalikan, khususnya di wilayah yang belum memiliki program pengendalian nyamuk yang baik.
Kekurangan Infrastruktur Pengendalian Vektor
Di banyak wilayah, program pengendalian nyamuk seperti fogging, penyemprotan insektisida, atau eliminasi tempat-tempat perindukan nyamuk sering kali tidak dilakukan secara berkelanjutan. Padahal, upaya ini sangat penting untuk memutus siklus hidup nyamuk dan menurunkan prevalensi DBD.
Imunitas Populasi yang Rendah
Infeksi pertama oleh virus dengue biasanya memberikan imunitas terhadap serotipe virus yang sama, tetapi bukan terhadap serotipe lain. Karena ada empat serotipe virus dengue (DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4), orang yang pernah terinfeksi tetap rentan terhadap infeksi berulang oleh serotipe yang berbeda, dan infeksi kedua bisa lebih berbahaya karena berisiko menimbulkan Dengue Haemorrhagic Fever (DHF)
Gejala dan Tahapan Penyakit DBD
Demam berdarah dengue memiliki spektrum klinis yang luas, mulai dari gejala ringan hingga berat. Secara umum, gejala DBD muncul setelah masa inkubasi selama 4 hingga 10 hari pasca gigitan nyamuk yang terinfeksi. Berikut adalah gejala dan tahapan DBD:
- Fase Demam (Fase Febril): Fase ini ditandai dengan demam tinggi yang tiba-tiba, mencapai 40°C atau lebih. Gejala lain termasuk sakit kepala parah, nyeri di belakang mata, nyeri otot dan sendi (dikenal sebagai “demam sendi” atau “breakbone fever”), serta ruam kulit. Fase ini berlangsung selama 1-4 hari.
- Fase Kritis: Pada fase ini, suhu tubuh mulai turun ke tingkat normal, tetapi komplikasi serius seperti kebocoran plasma, perdarahan internal, atau kegagalan organ dapat terjadi. Fase kritis berlangsung antara 24 hingga 48 jam dan sering kali merupakan periode paling berbahaya dalam perjalanan penyakit.
- Fase Pemulihan: Setelah melewati fase kritis, pasien mulai memasuki fase pemulihan. Cairan tubuh yang hilang selama fase kritis akan kembali secara perlahan, dan kondisi pasien membaik. Ruam kulit dan kelelahan mungkin tetap ada selama beberapa hari hingga minggu setelah pemulihan.
Perjalanan demam pada Demam Berdarah sering digambarkan seperti ‘siklus pelana kuda’, di mana terjadi demam tinggi yang mendadak pada hari ke 1-3 dan demam turun pada hari ke 4-6 namun memasuki fase kritis. Meski demam turun selama fase kritis, anak justru berisiko mengalami gejala yang memburuk. Gejala yang mungkin muncul termasuk perdarahan hebat, muntah, nyeri perut parah, dan dehidrasi. Jika tidak ditangani dengan cepat, anak bisa mengalami syok, dan syok yang tidak segera ditangani dapat menyebabkan kematian. Fase pemulihan biasanya terjadi pada hari 7-8.
Diagnosis Demam Berdarah Dengue (DBD)
Diagnosis dini terhadap demam berdarah dengue (DBD) sangat penting untuk menghindari komplikasi yang lebih serius, seperti Dengue Hemorrhagic Fever (DHF) atau Dengue Shock Syndrome (DSS). Proses diagnosis DBD biasanya melibatkan pemeriksaan klinis oleh tenaga medis berdasarkan gejala yang muncul, dan dilanjutkan dengan konfirmasi melalui tes laboratorium.
Pemeriksaan Klinis
Pada tahap awal, dokter akan mengidentifikasi gejala-gejala khas DBD, seperti demam tinggi mendadak, sakit kepala parah, nyeri pada belakang mata, nyeri otot dan sendi, serta ruam. Gejala lain yang mendukung diagnosis termasuk mual, muntah, dan perdarahan ringan, seperti mimisan atau perdarahan gusi.
Mengingat gejala-gejala ini sering kali mirip dengan penyakit demam lainnya, seperti flu atau infeksi virus lainnya, diperlukan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan adanya infeksi virus dengue.
Tes Laboratorium
Tes laboratorium yang digunakan untuk mendiagnosis DBD bertujuan untuk mendeteksi virus dengue secara langsung atau mendeteksi respons kekebalan tubuh terhadap virus tersebut. Beberapa tes yang sering digunakan adalah:
- Tes NS1 Antigen
Tes NS1 (Nonstructural protein 1) adalah metode yang paling umum untuk mendeteksi infeksi dengue pada tahap awal. Tes ini bekerja dengan mendeteksi protein NS1 yang dilepaskan oleh virus dengue ke dalam darah selama beberapa hari pertama infeksi (1–5 hari sejak demam muncul). Tes NS1 dapat memberikan hasil yang cepat, sehingga memungkinkan deteksi dini sebelum antibodi berkembang. - Tes Serologis (IgM/IgG)
Tes ini mendeteksi antibodi IgM dan IgG yang dihasilkan oleh tubuh sebagai respons terhadap infeksi virus dengue. Antibodi IgM muncul beberapa hari setelah infeksi awal (biasanya hari ke-5 hingga ke-10) dan mengindikasikan infeksi yang baru terjadi. Antibodi IgG mulai muncul pada fase selanjutnya dan tetap ada selama bertahun-tahun, menandakan infeksi yang pernah terjadi sebelumnya. Pemeriksaan ini berguna untuk mendiagnosis infeksi dengue pada fase demam akhir atau setelahnya - PCR (Polymerase Chain Reaction)
Tes PCR digunakan untuk mendeteksi materi genetik virus dengue di dalam darah. PCR sangat sensitif dan dapat mengidentifikasi serotipe spesifik virus (DENV-1, DENV-2, DENV-3, atau DENV-4). Tes ini efektif untuk deteksi dini dan dapat mengkonfirmasi keberadaan virus sebelum antibodi terbentuk, biasanya dalam 5 hari pertama demam. - Hitung Darah Lengkap (Complete Blood Count/CBC)
Selain tes serologi dan PCR, pemeriksaan darah lengkap sering dilakukan untuk memantau kondisi pasien. Pada DBD, jumlah trombosit cenderung menurun drastis (trombositopenia), sedangkan kadar hematokrit bisa meningkat karena kebocoran plasma. Pemeriksaan ini sangat penting untuk memantau potensi komplikasi, seperti perdarahan hebat atau syok
Penanganan Demam Berdarah Dengue
Hingga saat ini, belum ada obat khusus untuk menyembuhkan demam berdarah dengue. Penanganan DBD umumnya bersifat simptomatik dan suportif, yang bertujuan untuk meringankan gejala, mencegah komplikasi serius, dan memastikan tubuh memiliki cukup dukungan untuk melawan infeksi. Berikut adalah beberapa metode penanganan yang biasanya dilakukan:
Rehidrasi Cairan
Salah satu penanganan utama dalam kasus DBD adalah pemberian cairan. Dehidrasi merupakan risiko utama dalam infeksi dengue, terutama pada fase kritis ketika terjadi kebocoran plasma. Cairan intravena (IV) atau oral diberikan untuk menggantikan cairan yang hilang dan mencegah terjadinya syok. Ini sangat penting terutama pada pasien yang mengalami Dengue Shock Syndrome (DSS), di mana tekanan darah turun drastis
Kontrol Demam
Untuk mengurangi demam tinggi, obat antipiretik seperti paracetamol digunakan. Namun, obat-obatan seperti aspirin dan ibuprofen harus dihindari karena dapat meningkatkan risiko perdarahan. Paracetamol juga membantu meringankan nyeri otot dan sendi yang sering dialami pasien DBD
Pemantauan Ketat
Pasien yang berada pada fase kritis perlu dipantau secara intensif di rumah sakit. Pemantauan meliputi jumlah trombosit, hematokrit, serta tanda-tanda vital lainnya untuk mendeteksi potensi komplikasi. Penurunan jumlah trombosit yang drastis, tanda-tanda syok, atau perdarahan berat memerlukan tindakan medis segera, seperti pemberian transfusi darah atau cairan
Penanganan Komplikasi
Komplikasi seperti perdarahan parah, kerusakan organ, atau syok memerlukan tindakan medis darurat. Dalam kasus-kasus seperti ini, pasien mungkin membutuhkan perawatan di unit perawatan intensif (ICU) untuk mendapatkan pengawasan yang lebih intensif. Pemberian cairan dan elektrolit, transfusi darah, atau obat-obatan lain mungkin diperlukan untuk menstabilkan kondisi pasien
Pencegahan DBD
Upaya pencegahan demam berdarah dengue terutama berfokus pada pengendalian populasi nyamuk dan mengurangi kontak antara manusia dan nyamuk. Beberapa langkah pencegahan yang direkomendasikan meliputi:
Pengendalian Vektor Nyamuk
Mengurangi tempat berkembang biaknya nyamuk dengan menguras, menutup, dan mendaur ulang wadah-wadah yang dapat menampung air. Upaya utama dalam pencegahan DBD yang bisa dilakukan adalah :
1. Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), yang berfokus pada pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti melalui metode 3M Plus. PSN sangat efektif karena nyamuk Aedes berkembang biak di tempat yang menampung air bersih. Berikut adalah langkah-langkah 3M Plus:
- Menguras: Menguras dan membersihkan tempat penampungan air, seperti bak mandi, ember, vas bunga, dan tempat minum hewan setiap minggu.
- Menutup: Menutup rapat tempat penampungan air seperti drum dan tandon, untuk mencegah nyamuk bertelur.
- Mendaur Ulang: Memanfaatkan atau mendaur ulang barang-barang bekas yang dapat menampung air, seperti ban bekas, botol plastik, atau kaleng
Plus mengacu pada tindakan tambahan untuk pencegahan gigitan nyamuk, seperti:
- Menggunakan kelambu saat tidur, terutama di daerah endemik.
- Memakai pakaian yang menutupi sebagian besar tubuh.
- Memasang kawat anti-nyamuk di jendela dan ventilasi rumah.
- Menggunakan obat nyamuk atau lotion anti-nyamuk, baik berbentuk semprotan atau krim
2. Fogging atau pengasapan dengan insektisida, sering dilakukan di daerah yang mengalami lonjakan kasus DBD. Fogging bertujuan membunuh nyamuk dewasa yang membawa virus dengue. Namun, langkah ini bersifat sementara dan harus dilakukan bersamaan dengan PSN untuk memutus siklus nyamuk sepenuhnya.
3. Penggunaan Nyamuk Ber-Wolbachia Salah satu inovasi terbaru dalam pengendalian nyamuk adalah penggunaan nyamuk yang mengandung Wolbachia, bakteri yang menghambat kemampuan nyamuk Aedes aegypti untuk menularkan virus dengue. Nyamuk ber-Wolbachia ini dilepas di lingkungan dan secara alami akan berkembang biak dengan populasi nyamuk lokal, sehingga mengurangi transmisi virus.
Vaksinasi
Saat ini, vaksin dengue yang disetujui oleh WHO adalah Dengvaxia, yang tersedia di beberapa negara, termasuk Indonesia. Vaksin ini hanya direkomendasikan untuk individu yang sudah pernah terinfeksi virus dengue sebelumnya, karena pemberian vaksin pada individu yang belum pernah terinfeksi justru dapat meningkatkan risiko infeksi kedua yang lebih parah. Vaksin ini telah terbukti mampu mengurangi kejadian infeksi berulang dan menurunkan risiko komplikasi.
Pendidikan dan Kesadaran Masyarakat
Masyarakat perlu diedukasi mengenai pentingnya menjaga kebersihan lingkungan dan menghilangkan tempat-tempat yang dapat menjadi sarang nyamuk. Kementerian Kesehatan Indonesia secara rutin menyelenggarakan kampanye untuk meningkatkan kesadaran tentang bahaya DBD dan pentingnya melakukan PSN. Pendekatan berbasis komunitas sangat penting, di mana masyarakat secara aktif terlibat dalam membersihkan lingkungan sekitar mereka
Kesimpulan
Demam berdarah dengue adalah ancaman kesehatan yang serius di banyak negara, termasuk Indonesia. Peningkatan jumlah kasus setiap tahunnya menekankan pentingnya upaya pencegahan dan pengendalian vektor secara berkelanjutan. Selain itu, penanganan yang cepat dan tepat dapat menyelamatkan nyawa, terutama pada fase kritis penyakit. Kesadaran masyarakat tentang gejala dan cara pencegahan DBD sangat penting untuk mengurangi dampak epidemi penyakit ini.
Daftar Pustaka
- World Health Organization. (2023). Dengue and severe dengue. Retrieved from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/dengue-and-severe-dengue
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2023). Laporan Tahunan Demam Berdarah Dengue di Indonesia. Retrieved from https://www.kemkes.go.id
- Redaksi Sehat Negeriku. (2024). Waspada DBD di Musim Kemarau. Sehat Negeriku, Kementerian Kesehatan RI. Retrieved from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/rilis-media/20240616/0045767/
- Redaksi Sehat Negeriku. (2024). Ketika Demam Berdarah Kembali Merebak. Sehat Negeriku, Kementerian Kesehatan RI. Retrieved from https://sehatnegeriku.kemkes.go.id/baca/blog/20240605/0545670/
- Bhatt, S., Gething, P. W., Brady, O. J., Messina, J. P., Farlow, A. W., Moyes, C. L., & Hay, S. I. (2013). The global distribution and burden of dengue. Nature, 496(7446), 504–507. https://doi.org/10.1038/nature12060
- Shepard, D. S., Undurraga, E. A., Halasa, Y. A., & Stanaway, J. D. (2016). Global economic cost of dengue illness in 2013. The American journal of tropical medicine and hygiene, 94(2), 402-407. https://doi.org/10.4269/ajtmh.15-0906
- Halstead, S. B. (2007). Dengue. The Lancet, 370(9599), 1644-1652. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(07)61687-0
- World Health Organization. (2020). Global Strategy for Dengue Prevention and Control 2012-2020. Retrieved from https://www.who.int/denguecontrol/9789241504034/en/
- Guzman, M. G., & Harris, E. (2015). Dengue. The Lancet, 385(9966), 453-465. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(14)60572-9
- Beatty, M. E., Letson, G. W., & Margolis, H. S. (2009). Estimating the global burden of dengue. The American journal of tropical medicine and hygiene, 81(5), 826-835. https://doi.org/10.4269/ajtmh.2009.08-0556
- Rigau-Perez, J. G., Clark, G. G., Gubler, D. J., Reiter, P., Sanders, E. J., & Vorndam, A. V. (1998). Dengue and dengue haemorrhagic fever. The Lancet, 352(9132), 971-977. https://doi.org/10.1016/S0140-6736(97)12483-7
- Messina, J. P., Brady, O. J., Scott, T. W., Zou, C., Pigott, D. M., Duda, K. A., & Hay, S. I. (2014). Global spread of dengue virus types: mapping the 70-year history. Trends in microbiology, 22(3), 138-146. https://doi.org/10.1016/j.tim.2013.12.011