Mewaspadai Leptospirosis: Penyakit Bakteri yang Mengintai di Musim Hujan

Leptospirosis adalah penyakit bakteri yang sering kali tidak disadari, namun bisa berakibat fatal jika tidak ditangani dengan cepat dan tepat. Penyakit ini banyak terjadi di daerah tropis dan subtropis, termasuk Indonesia, terutama saat musim hujan. 

Apa Itu Leptospirosis?

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang dapat menyebar melalui air atau tanah yang terkontaminasi urine hewan yang terinfeksi. Hewan yang sering menjadi sumber infeksi adalah tikus, anjing, sapi, babi, dan hewan lainnya. Manusia bisa terinfeksi melalui kontak langsung dengan air atau tanah yang terkontaminasi atau melalui luka terbuka.

Epidemiologi Leptospirosis

 
Epidemiologi Leptospirosis

Leptospirosis ditemukan di berbagai belahan dunia, dengan prevalensi yang tinggi di daerah beriklim tropis dan subtropis. Menurut data dari World Health Organization (WHO), diperkirakan ada lebih dari satu juta kasus leptospirosis yang terjadi setiap tahun di seluruh dunia, dengan sekitar 58.900 kematian.

Beberapa negara dengan insiden leptospirosis yang tinggi antara lain:

  • Brasil:
    Melaporkan sekitar 3.000 hingga 5.000 kasus per tahun.
  • India:
    Memiliki beberapa daerah endemik dengan insiden yang bervariasi, namun
    beberapa laporan menunjukkan lebih dari 10.000 kasus per tahun di seluruh
    negeri.
  • Thailand:
    Pada tahun 2019, Thailand melaporkan lebih dari 2.000 kasus leptospirosis.

Faktor risiko utama termasuk iklim tropis, curah hujan tinggi, banjir, dan buruknya sanitasi.

Epidemiologi dan Prevalensi Leptospirosis di Indonesia

Indonesia sebagai negara tropis dengan curah hujan yang tinggi, merupakan salah satu negara dengan risiko tinggi leptospirosis. Leptospirosis sering terjadi setelah musim hujan dan banjir, di mana air yang tergenang berpotensi terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi.

Data Prevalensi di Indonesia

Berdasarkan laporan Kementerian Kesehatan Indonesia, leptospirosis adalah penyakit yang dilaporkan setiap tahun dengan angka insiden yang bervariasi. Berikut beberapa data prevalensi leptospirosis di Indonesia:

  • Tahun 2018: Terdapat 928 kasus leptospirosis dengan 140
    kematian, memberikan angka fatalitas sekitar 15%.
  • Tahun 2019: Kasus leptospirosis menurun menjadi 637
    kasus, dengan 80 kematian, memberikan angka fatalitas sekitar 12,6%.
  • Tahun 2020: Dilaporkan 867 kasus dengan 112 kematian,
    angka fatalitas sekitar 12,9%.

Provinsi dengan kasus leptospirosis tertinggi antara lain Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Faktor risiko utama di Indonesia termasuk banjir, kontak dengan air tercemar, dan keberadaan tikus dalam jumlah besar.

Upaya Pencegahan di Indonesia

Upaya pencegahan leptospirosis di Indonesia melibatkan beberapa strategi, antara lain:

  • Peningkatan kesadaran masyarakat tentang bahaya dan pencegahan leptospirosis.
  • Pengendalian populasi tikus dan menjaga kebersihan lingkungan.
  • Penyediaan fasilitas sanitasi yang memadai.
  • Pelatihan petugas kesehatan untuk mendeteksi dan menangani kasus leptospirosis.

Leptospirosis adalah ancaman kesehatan yang signifikan di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Dengan meningkatkan kesadaran dan tindakan pencegahan, kita dapat mengurangi beban penyakit ini dan melindungi kesehatan masyarakat.

Penyebab Leptospirosis

 
Bagaimana Leptospirosis Menginfeksi

Leptospirosis disebabkan oleh bakteri Leptospira yang berbentuk spiral dan dapat ditemukan di air dan tanah yang terkontaminasi oleh urine hewan yang terinfeksi. Hewan yang sering menjadi sumber infeksi termasuk tikus, anjing, babi, sapi, dan hewan liar lainnya. Manusia dapat terinfeksi melalui:

  • Kontak langsung dengan urine hewan yang terinfeksi
  • Kontak dengan air atau tanah yang terkontaminasi
  • Melalui luka terbuka atau selaput lendir (mata, hidung, atau mulut)

Gejala Leptospirosis

Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh manusia, mereka dapat menyebar ke berbagai organ dan jaringan melalui aliran darah. Perjalanan penyakit leptospirosis dapat dibagi menjadi beberapa fase:

Fase Inkubasi

  • Durasi: Biasanya 2-30 hari, rata-rata sekitar 7-14 hari.
  • Proses: Bakteri Leptospira masuk ke dalam tubuh dan mulai berkembang biak tanpa
    menimbulkan gejala yang jelas.

Fase Akut (Leptospiremic Phase)

  • Durasi: 4-7 hari.
  • Gejala:
    • Demam tinggi tiba-tiba
    • Sakit kepala Hebat
    • Nyeri otot, terutama di betis dan punggung
    • Mata merah (konjungtivitis)
    • Mual, muntah, dan diare
  • Proses: Bakteri menyebar melalui aliran darah ke berbagai organ seperti hati, ginjal, paru-paru, dan sistem saraf pusat. Pada fase ini, bakteri dapat ditemukan dalam darah dan cairan serebrospinal.

Fase Imun (Leptospiruric Phase)

  • Durasi: 4-30 hari atau lebih.
  • Gejala:
    • Demam yang mereda namun bisa kambuh
    • Ikterus (kulit dan mata kuning)
    • Nyeri otot yang berlanjut
    • Meningitis aseptik (peradangan selaput otak)
    • Kegagalan ginjal atau hati
    • Perdarahan paru-paru
  • Proses:Sistem kekebalan tubuh mulai membentuk antibodi terhadap bakteri Leptospira. Bakteri dapat ditemukan dalam urine pada fase ini, menunjukkan infeksi ginjal.

Derajat Penyakit Leptospirosis

Leptospirosis dapat dibagi menjadi dua bentuk klinis berdasarkan keparahan gejalanya:

Derajat Ringan

  • Gejala: Mirip dengan flu atau infeksi virus, termasuk demam, sakit kepala, nyeri otot, mual, dan mata merah. Kebanyakan orang pulih dalam beberapa minggu tanpa komplikasi serius.

Derajat Berat (Penyakit Weil)

  • Gejala: Selain gejala yang disebutkan di atas, bentuk berat dapat menyebabkan komplikasi serius seperti:
    • Ikterus (kulit dan mata kuning)
    • Gagal ginjal
    • Meningitis
    • Perdarahan paru-paru
    • Gangguan fungsi hati
    • Kerusakan pada jantung atau paru-paru
  • Proses: Penyakit Weil merupakan bentuk paling parah dari leptospirosis dan dapat mengancam nyawa jika tidak ditangani dengan tepat.

Pencegahan Leptospirosis

Mencegah leptospirosis terutama dilakukan dengan menghindari kontak dengan air atau tanah yang mungkin terkontaminasi urine hewan. Beberapa langkah pencegahan yang bisa dilakukan antara lain:

  • Menggunakan alas kaki dan pakaian pelindung saat berada di area yang berpotensi
    terkontaminasi.
  • Mencuci tangan dengan sabun setelah beraktivitas di luar ruangan.
  • Menjaga kebersihan lingkungan untuk mengurangi populasi tikus.
  • Vaksinasi untuk hewan peliharaan.

Pengobatan Leptospirosis

Leptospirosis dapat diobati dengan antibiotik, terutama jika didiagnosis dan ditangani pada tahap awal. Antibiotik yang sering digunakan adalah doksisiklin dan penisilin. Pada kasus yang parah, pasien mungkin memerlukan perawatan di rumah sakit untuk mendapatkan pengobatan suportif, seperti cairan intravena dan pengobatan untuk komplikasi yang terjadi.

Leptospirosis adalah penyakit yang perlu diwaspadai, terutama di negara tropis seperti Indonesia. Dengan mengetahui gejala dan cara pencegahannya, kita dapat melindungi diri dan keluarga dari ancaman penyakit ini. Tetaplah menjaga kebersihan lingkungan dan waspada terhadap tanda-tanda leptospirosis agar dapat segera mendapatkan penanganan yang tepat.

Daftar Pustaka

  1. Centers for Disease Control and Prevention (CDC). (2021).
    “Leptospirosis.” Retrieved from https://www.cdc.gov/leptospirosis/index.html.
  2. World Health Organization (WHO). (2020). “Leptospirosis.” Retrieved
    from https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/leptospirosis.
  3. Bharti, A. R., Nally, J. E., Ricaldi, J. N., Matthias, M. A., Diaz, M. M., Lovett,
    M. A., … & Vinetz, J. M. (2003). Leptospirosis: a zoonotic disease of global importance. The Lancet infectious diseases, 3(12), 757-771.
  4. Levett, P. N. (2001). Leptospirosis. Clinical Microbiology Reviews, 14(2), 296-326.
  5. Adler, B., & de la Peña Moctezuma, A. (2010). Leptospira and leptospirosis. Veterinary Microbiology, 140(3-4), 287-296.
  6. World Health Organization (WHO). (2019). “Leptospirosis Burden Epidemiology
    Reference Group (LERG).” Retrieved from https://www.who.int/zoonoses/diseases/lerg/en/.
  7. Ministry of Health, Brazil. (2019). “Leptospirosis: Epidemiological Situation in Brazil.” Retrieved from http://www.saude.gov.br/.
  8. Government of India, Ministry of Health and Family Welfare. (2020). “Leptospirosis in India: Current Scenario.” Retrieved from https://www.mohfw.gov.in/.
  9. Department of Disease Control, Thailand. (2020). “Leptospirosis Situation Report.” Retrieved from https://ddc.moph.go.th/.
  10. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2018). “Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2018.” Retrieved from http://www.depkes.go.id/.
  11. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). “Profil Kesehatan Indonesia Tahun 2019.” Retrieved from http://www.depkes.go.id/.
  12. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2020). “Profil Kesehatan Indonesia Tahun
    2020.” Retrieved from http://www.depkes.go.id/.
dr. Maria Alfiani Kusnowati
Author: dr. Maria Alfiani Kusnowati

Dokter Umum. Universitas Kristen Maranatha angkatan 2013. Internship di RSUD Waled dan Puskesmas Losari Kabupaten Cirebon (2019). Bekerja di RS Bunda Pengharapan Merauke, Papua Selatan (2020-2023).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top