Pendahuluan
Mpox atau yang lebih dikenal sebagai Monkeypox, merupakan infeksi zoonotik yang disebabkan oleh virus Orthopoxvirus. Virus ini termasuk dalam keluarga yang sama dengan virus penyebab cacar (smallpox), meskipun Mpox menampilkan manifestasi klinis dan tingkat keparahan yang berbeda. Penemuan awal Mpox terjadi pada tahun 1958 pada monyet laboratorium, yang kemudian menjadi dasar penamaannya. Namun, berbagai hewan lain seperti tikus dan tupai juga diketahui sebagai reservoir virus ini, yang dapat menularkan infeksi ke manusia.
Kasus manusia pertama yang terkonfirmasi mengalami Mpox dilaporkan pada tahun 1970 di Republik Demokratik Kongo. Sejak saat itu, wabah Mpox sebagian besar terlokalisasi di daerah pedesaan hutan hujan di Afrika Tengah dan Afrika Barat, termasuk negara-negara seperti Nigeria, Kamerun, dan Republik Afrika Tengah. Penularan sering terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, baik melalui gigitan maupun kontak dengan cairan tubuh hewan tersebut. Dalam beberapa dekade berikutnya, kasus sporadis Mpox juga muncul di luar benua Afrika, umumnya berhubungan dengan perjalanan internasional atau impor hewan terinfeksi.
Mulai tahun 2022, terjadi lonjakan signifikan dalam jumlah kasus Mpox di berbagai negara non-Afrika, termasuk wilayah Amerika, Eropa, dan Asia, termasuk Indonesia. Fenomena ini menarik perhatian global dan mendorong Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk menetapkan status darurat kesehatan global pada tahun 2022. Hingga Agustus 2024, Indonesia telah melaporkan total 88 kasus konfirmasi Mpox sejak tahun 2022. Sebagian besar kasus terjadi pada tahun 2023 dengan jumlah 73 kasus, sementara 14 kasus lainnya tercatat pada tahun 2024. Kasus pertama di Indonesia terjadi pada 20 Agustus 2022 dan telah tersebar di berbagai provinsi seperti Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Kepulauan Riau, dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Secara global, WHO mencatat lebih dari 99.000 kasus konfirmasi Mpox dari 116 negara antara Januari 2022 hingga Juni 2024, dengan total 208 kematian terkait. Wilayah Afrika tetap menjadi yang paling terdampak, dengan Republik Demokratik Kongo melaporkan sebagian besar kasus. Di Afrika, peningkatan kasus Mpox didominasi oleh Clade I, yang dikenal lebih virulen dibandingkan dengan Clade II yang lebih umum ditemukan di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Clade II cenderung menimbulkan gejala yang lebih ringan dan memiliki tingkat kematian yang lebih rendah, membuat penyebaran di luar Afrika menjadi perhatian utama dalam konteks kesehatan masyarakat global.
Penyebaran global Mpox telah menimbulkan respons serius dari WHO, yang telah mengumumkan status darurat kesehatan global dua kali dalam dua tahun terakhir, yaitu pada tahun 2022 dan 2024. Langkah ini bertujuan untuk mengoordinasikan upaya internasional dalam menanggulangi wabah, termasuk peningkatan kapasitas diagnostik, distribusi vaksin, dan kampanye edukasi publik. Meskipun telah dilakukan berbagai upaya pengendalian, kasus terakhir di Indonesia pada minggu ke-23 tahun 2024 menunjukkan bahwa Mpox tetap menjadi ancaman kesehatan yang signifikan dan memerlukan kewaspadaan berkelanjutan.
Transmisi
Virus Mpox (MPXV) adalah anggota dari virus orthopox dalam keluarga Poxviridae, subfamili Chordopoxvirinae, yang juga mencakup virus molluscum contagiosum, vaccinia, dan variola (cacar). Virus Poxviridae merupakan virus DNA beruntai ganda yang memiliki selubung. Pasien yang terinfeksi virus ini biasanya mengalami ruam vesikulopustular yang khas. Vaksin yang digunakan dalam program pemberantasan cacar global diyakini juga memberikan perlindungan terhadap mpox, sehingga membatasi penyebaran virus ini hanya pada wabah kecil di wilayah tertentu di Afrika. Vaksinasi rutin terhadap cacar dihentikan setelah penyakit tersebut dinyatakan berhasil diberantas berkat kampanye global oleh Organisasi Kesehatan Dunia pada tahun 1970-an dan 1980-an.
Terdapat dua Clade MPXV yang secara genetik berbeda, yaitu Clade I (sebelumnya dikenal sebagai Clade Afrika Tengah, Basin Kongo) dan Clade II (sebelumnya dikenal sebagai Clade Afrika Barat), di mana Clade I lebih parah secara klinis, dengan penularan antar manusia yang lebih besar dan tingkat kematian yang lebih tinggi.
Inang alami virus Mpox mencakup beberapa jenis hewan pengerat dan primata di Afrika Tengah. Penularan dari hewan ke manusia biasanya terjadi melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi, baik melalui paparan selaput lendir, cairan tubuh, jaringan, atau konsumsi daging yang kurang matang. Penularan juga dapat terjadi melalui goresan atau gigitan dari hewan yang terinfeksi. Selain itu, mamalia kecil seperti tupai dan tikus marsupial Gambia dapat menjadi reservoir virus, terkadang tanpa menunjukkan gejala. Penularan antar manusia terjadi melalui kontak dekat dan berkepanjangan dengan individu yang terinfeksi, seperti kontak wajah-ke-wajah, kontak kulit-ke-kulit, atau melalui benda-benda yang terkontaminasi seperti seprai dan pakaian.
Wabah terbaru Mpox ini merupakan epidemi terbesar yang pernah dilaporkan di luar Afrika, berbeda dengan wabah sebelumnya. Di masa lalu, infeksi Mpox biasanya dikaitkan dengan kontak dengan hewan yang terinfeksi atau perjalanan ke wilayah yang terdampak. Namun, dalam epidemi saat ini, sebagian besar kasus Mpox tidak terkait dengan kontak dengan hewan atau perjalanan, melainkan dengan kontak seksual antar individu. Selama dua tahun terakhir, sebagian besar kasus Mpox dilaporkan di antara laki-laki homoseksual atau biseksual, dengan 98% kasus terjadi pada kelompok ini, dan 41% di antaranya juga terinfeksi HIV. Lesi yang diamati pada pasien sebagian besar muncul di daerah anus dan genital, dengan masa inkubasi sekitar 7–14 hari dan gejala yang berlangsung selama 14–21 hari. Masa inkubasi yang lama ini menimbulkan tantangan signifikan untuk diagnosis yang akurat, yang dapat menyebabkan keterlambatan perawatan medis, perkembangan penyakit, dan penyebaran virus lebih lanjut.
Pentingnya pemahaman yang lebih mendalam tentang Mpox dan penyebaran virusnya di berbagai wilayah dunia menjadi kunci untuk pencegahan dan pengendalian penyakit ini. Penelitian lebih lanjut tentang imunopatogenesis infeksi MPXV sangat diperlukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang interaksi virus dengan inang, serta memperbaiki hasil klinis bagi individu yang terinfeksi.
Gambaran Klinis:
Selain ruam yang karakteristik, pasien Mpox mungkin juga mengalami gejala sistemik seperti sakit kepala, demam, mialgia, kelelahan, batuk persisten, limfadenopati, atau faringitis. Mpox sering kali dapat keliru didiagnosis sebagai varisela, herpes zoster, skabies, sifilis, atau campak. Namun, limfadenopati pada Mpox dapat menjadi tanda pembeda yang signifikan dari kondisi-kondisi lain yang bisa muncul bersamaan.
Siklus Hidup Lesi:
Mpox memiliki tiga fase klinis utama: fase inkubasi, fase prodromal, dan fase eruptif. Masa inkubasi berlangsung sekitar 5 hingga 21 hari, dengan rata-rata sekitar 13 hari. Pada fase ini, virus bereplikasi dalam tubuh tanpa menimbulkan gejala. Setelah itu, pasien memasuki fase prodromal yang berlangsung 1 hingga 5 hari, di mana gejala awal seperti demam tinggi, cephalgia, kelelahan (Asthenia), Mialgia ,serta limfadenopati mulai muncul. Limfadenopati ini merupakan tanda yang khas dan membantu membedakan Mpox dari penyakit lainnya, seperti cacar air.
Fase terakhir adalah fase eruptif yang berlangsung antara 2 hingga 4 minggu, ditandai dengan munculnya ruam kulit yang khas. Ruam ini berkembang secara serentak dalam pola sentrifugal, melibatkan telapak tangan dan kaki. Lesi kulit ini melalui beberapa tahap: dimulai dengan makula, kemudian berkembang menjadi papula, vesikel, hingga pustula yang sering kali sangat nyeri, dan akhirnya mengering menjadi keropeng (krust). Proses ini berlangsung selama 14 hingga 28 hari, lesi yang sembuh sering kali meninggalkan bekas luka permanen, terutama jika terjadi infeksi sekunder.
Gejala-gejala ini umumnya berlangsung selama 2 hingga 4 minggu. Sebagian besar kasus Mpox dapat sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus, meskipun pada individu dengan kondisi kesehatan tertentu, gejala bisa menjadi lebih parah dan memerlukan penanganan medis yang lebih intensif.
Patogenesis
Mpox adalah penyakit yang biasanya sembuh dengan sendirinya, tetapi tingkat keparahan infeksi dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti jenis virus tertentu, status kekebalan individu, dan kemungkinan komplikasi yang muncul. Gejala awal umum infeksi virus Mpox meliputi rasa sakit, demam, kelelahan, dan limfadenektasis, dengan limfadenektasis inguinal yang signifikan sering kali diamati. Kehadiran limfadenektasis ini dapat membantu membedakan infeksi virus Mpox dari infeksi virus orthopox lainnya. Memahami cara penularan juga penting dalam menetapkan langkah-langkah efektif untuk memerangi Mpox.
Setelah terpapar sekresi pernapasan atau cairan tubuh pasien Mpox, virus Mpox memasuki jaringan di sekitarnya melalui selaput lendir (seperti mata, pernapasan, mulut, uretra, dan rektum) atau kulit yang rusak. Virus kemudian menyebar ke seluruh tubuh melalui sel imun yang berada di jaringan dan kelenjar getah bening. Ini merupakan periode laten infeksi virus Mpox yang biasanya berlangsung hingga dua minggu. Selama periode ini, individu yang terinfeksi umumnya tidak menunjukkan gejala dan tidak memiliki lesi. Setelah periode laten, individu yang terinfeksi virus Mpox mulai menunjukkan gejala atipikal, termasuk demam, menggigil, sakit kepala, nyeri otot, dan limfadenektasis. Gejala prodromal awal Mpox ini biasanya berlangsung selama tiga hari. Setelah demam dan limfadenektasis, ruam mulai muncul di kepala dan wajah, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Ruam ini berkembang dari papul menjadi vesikel dan pustula, dan akhirnya membentuk keropeng yang sembuh dan meninggalkan bekas luka. Fase ruam progresif ini berlangsung sekitar 2–4 minggu.
Pada wabah Mpox saat ini di kalangan pria yang berhubungan seks dengan pria (MSM), beberapa tanda klinis yang tidak biasa telah diamati, dengan ruam yang muncul terutama di sekitar area genital atau anus, dan kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Kasus parah infeksi virus Mpox dapat menyebabkan komplikasi seperti penyakit hemoragik, nekrotik, obstruktif, peradangan organ vital, dan septikemia. Tingkat kematian akibat Mpox di wilayah non-epidemik selama tahun 2022 adalah sekitar 0,04%. Individu yang memiliki sistem kekebalan tubuh lemah, termasuk anak-anak, orang dewasa yang lebih tua, dan mereka yang memiliki defisiensi imun (seperti pasien HIV dan individu yang menggunakan obat imunosupresif), lebih rentan mengalami manifestasi penyakit yang parah. Selain itu, individu dengan kekebalan yang lemah lebih mungkin berkontribusi pada evolusi Mpox, membuat virus ini semakin adaptif terhadap inang manusia, yang mengakibatkan penyebaran yang lebih luas.
Morfologi Virus dan Genom
Mpox disebabkan oleh virus Mpox, anggota genus orthopoxvirus dalam keluarga Poxviridae, yang memiliki morfologi berbentuk bata atau oval dengan diameter sekitar 200–250 nm. Genom virus ini terdiri dari DNA untai ganda linear dengan panjang sekitar 197 kb dan mengkode sekitar 180 protein. Selain itu, virus Mpox memiliki nukleokapsid berbentuk halter yang diselubungi oleh partikel lipid berbentuk oval. Struktur genom virus Mpox sangat mirip dengan orthopoxvirus lainnya, yang ditandai dengan daerah inti pusat yang sangat konservatif, daerah variabel di ujung kiri dan kanan, dan urutan terbalik terminal yang berulang secara tandem. Daerah inti pusat virus Mpox memiliki lebih dari 90% kesamaan urutan dengan orthopoxvirus lainnya, terutama dalam kerangka baca terbuka (ORF) yang terletak di antara C10L dan A25R. Karakteristik spesifik spesies dan strain orthopoxvirus sering ditemukan di daerah variabel di ujung genom. Pemahaman yang lebih baik tentang ORF ini dapat memberikan wawasan tentang tropisme inang, patogenesis, dan perbedaan dalam regulasi imun.
Berdasarkan analisis genomik dan filogenetik yang dilakukan pada tahun 2022, strain virus Mpox yang dominan diidentifikasi sebagai bagian dari garis keturunan B.1 dari Clade Afrika Barat. Garis keturunan B.1 menunjukkan beberapa mutasi dalam gen yang terkait dengan virulensi, pengenalan inang, dan penghindaran imun. Dibandingkan dengan urutan genom lengkap virus Mpox yang diperoleh sebelumnya dari Nigeria pada 2017 hingga 2018, strain virus Mpox yang muncul pada 2022 menunjukkan jumlah polimorfisme nukleotida tunggal (SNP) yang lebih tinggi. Strain virus Mpox yang diisolasi pada 2022 menunjukkan sekitar 50 SNP, menunjukkan peningkatan laju substitusi yang diprediksi sebesar 6–12 kali lipat dibandingkan dengan strain yang diisolasi dari tahun 2018–2019 (1–2 substitusi nukleotida per genom setiap tahun). Signifikansi fungsional dari mutasi ini belum sepenuhnya dipahami, tetapi tingkat mutasi yang tinggi ini mungkin membantu menjelaskan munculnya secara tiba-tiba dan meningkatnya penularan virus Mpox di wilayah non-endemik.
Aspek Molekuler Replikasi Virus dan Respons Imun
1. Mekanisme Molekuler Replikasi Virus
Replikasi virus merupakan proses yang sangat kompleks dan terorganisir, melibatkan serangkaian peristiwa molekuler yang bertujuan untuk memanfaatkan mesin seluler inang demi menghasilkan progeni virus. Setelah berhasil memasuki sel inang melalui interaksi spesifik antara protein permukaan virus dan reseptor seluler, genom MPXV melepaskan diri dari kapsidnya dan memasuki sitoplasma. Genom ini berupa DNA untai ganda linear yang mengkodekan sejumlah gen penting untuk berbagai tahapan replikasi virus.
Salah satu langkah krusial dalam replikasi virus adalah inisiasi sintesis DNA virus, yang dimediasi oleh kompleks enzim DNA polimerase virus. Kompleks enzim ini memanfaatkan nukleotida sel inang untuk mensintesis untai DNA komplementer, yang pada akhirnya menghasilkan genom virus lengkap. Secara bersamaan, transkripsi mRNA virus terjadi melalui aktivitas RNA polimerase virus. Transkrip mRNA ini berfungsi sebagai cetakan untuk translasi protein virus yang penting bagi replikasi, termasuk enzim yang terlibat dalam sintesis DNA seperti helicase dan primase DNA, serta protein struktural yang diperlukan untuk perakitan partikel virus baru.
Seiring perkembangan infeksi, ekspresi gen tahap akhir terjadi secara berurutan, yang mengarah pada sintesis protein virus tambahan yang diperlukan untuk perakitan dan pematangan virion. Ini mencakup protein struktural seperti protein kapsid utama, protein membran, dan protein yang terlibat dalam perakitan serta morfogenesis virion. Ekspresi terkoordinasi dari gen-gen tahap akhir ini memastikan produksi partikel virus infeksius yang efisien. Setelah virion matang terbentuk, mereka diangkut ke perifer sel dan dilepaskan dari sel yang terinfeksi, siap untuk menginfeksi sel tetangga dan menyebarkan infeksi.
Proses replikasi virus ini diatur dengan ketat dan terkoordinasi, di mana protein virus berinteraksi dengan faktor sel inang untuk memodulasi proses seluler dan menguntungkan replikasi virus. Selain itu, replikasi virus terjadi di kompartemen intraseluler khusus yang dikenal sebagai “pabrik virus,” tempat protein dan asam nukleat virus terkonsentrasi untuk memfasilitasi replikasi dan perakitan yang efisien.
Memahami mekanisme molekuler di balik replikasi virus sangat penting untuk pengembangan terapi antivirus yang ditargetkan dan vaksin terhadap MPXV serta orthopoxvirus terkait. Dengan mengungkap interaksi rumit antara virus dan sel inang selama replikasi, peneliti dapat mengidentifikasi target baru untuk intervensi terapeutik serta merancang strategi untuk mengganggu replikasi virus dan mencegah penyebaran infeksi. Selain itu, wawasan mengenai dasar molekuler replikasi virus dapat menginformasikan desain vaksin yang dilemahkan atau vektor yang mampu memicu respons imun yang kuat terhadap MPXV, sehingga memberikan perlindungan jangka panjang terhadap infeksi.
2. Mekanisme Molekuler Respons Imun Inang
Respons imun inang memainkan peran penting dalam mengkoordinasikan pertahanan multifaset terhadap infeksi MPXV, yang melibatkan mekanisme imun bawaan dan adaptif. Ketika komponen virus terdeteksi, sel imun bawaan seperti sel dendritik, makrofag, dan sel pembunuh alami (NK) segera diaktifkan, memicu kaskade inflamasi. Respons ini ditandai dengan sekresi sitokin proinflamasi dan kemokin, seperti tumor necrosis factor-alpha (TNF-α), interleukin-1 (IL-1), dan interferon (IFN), yang merekrut dan mengaktifkan sel imun lainnya ke lokasi infeksi.
Sel dendritik, sebagai penjaga utama sistem imun, memiliki peran penting dalam memulai respons imun adaptif terhadap MPXV. Mereka menangkap antigen virus dan bermigrasi ke organ limfoid, tempat mereka menyajikan antigen ini kepada sel T. Proses ini memicu aktivasi dan ekspansi klonal sel T spesifik antigen, termasuk sel T penolong CD4+ dan sel T sitotoksik CD8+. Sel T CD4+ menyediakan bantuan penting bagi sel B, membantu diferensiasi mereka menjadi sel plasma yang mensekresi antibodi, serta meningkatkan produksi antibodi netralisasi. Sementara itu, sel T CD8+ secara langsung menargetkan dan menghancurkan sel yang terinfeksi melalui pelepasan granula sitotoksik yang mengandung perforin dan granzim, dengan demikian membatasi penyebaran virus dalam tubuh inang.
Selain imun seluler, imun humoral yang dimediasi oleh sel B dan antibodi juga merupakan komponen vital dari pertahanan inang terhadap MPXV. Sel B diaktifkan dan berdiferensiasi menjadi sel plasma setelah berinteraksi dengan antigen virus, menghasilkan produksi antibodi spesifik virus. Antibodi ini dapat menetralkan virus dengan mengikat protein permukaan virus, mencegah virus menempel dan memasuki sel inang. Selain itu, antibodi dapat memfasilitasi pembersihan partikel virus melalui proses opsonisasi, menandai partikel virus untuk fagositosis oleh makrofag dan neutrofil.
Respons imun adaptif terhadap infeksi MPXV juga menghasilkan pembentukan memori imunologi, yang memberikan perlindungan jangka panjang terhadap infeksi ulang. Sel memori T dan B tetap ada di tubuh setelah penyelesaian infeksi akut, memungkinkan respons yang cepat dan kuat saat terpapar kembali dengan virus. Sel T memori memiliki fungsi efektor yang ditingkatkan dan dapat dengan cepat berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel T sitotoksik ketika bertemu dengan antigen virus, memberikan perlindungan segera terhadap penyebaran virus.
Meskipun respons imun inang sangat kuat, MPXV telah berevolusi untuk mengembangkan berbagai strategi untuk menghindari deteksi imun dan menetapkan infeksi yang persisten. Virus ini dapat memodulasi jalur sinyal sel inang yang terlibat dalam presentasi antigen, mengurangi kemampuan efektor imun untuk mengenali dan mengeliminasi sel yang terinfeksi. Selain itu, MPXV mengkode protein yang mengganggu jalur sinyal sitokin, melemahkan respons antiviral inang dan memfasilitasi replikasi serta penyebaran virus.
Memahami interaksi dinamis antara MPXV dan sistem imun inang sangat penting untuk pengembangan vaksin dan terapi yang efektif terhadap infeksi MPXV. Dengan mengungkap mekanisme molekuler yang mendasari penghindaran imun dan mengidentifikasi target intervensi yang krusial, para peneliti dapat merancang strategi untuk meningkatkan kekebalan inang dan mengendalikan penyebaran virus. Lebih jauh, wawasan tentang respons imun inang terhadap infeksi MPXV dapat membantu pengembangan vaksin generasi berikutnya yang mampu memicu kekebalan yang kuat dan tahan lama terhadap penyakit infeksi yang sedang berkembang ini.
3. Strategi Penghindaran Imun oleh Virus
MPXV telah mengembangkan strategi canggih untuk menghindari deteksi imun dan menetapkan infeksi yang persisten dalam tubuh inang. Taktik penghindaran ini menargetkan berbagai komponen respons imun inang, memungkinkan virus untuk menekan pertahanan antivirus dan mendukung kelangsungan hidup serta penyebarannya. Salah satu strategi yang digunakan MPXV adalah modifikasi jalur sinyal imun bawaan inang. Setelah terinfeksi, virus ini menghasilkan berbagai protein imunomodulator yang mengganggu produksi dan sinyal sitokin antivirus inang, termasuk interferon (IFN) dan sitokin proinflamasi. Sebagai contoh, MPXV menghasilkan reseptor sitokin decoy yang kompetitif, yang mengikat sitokin inang, mencegah interaksi mereka dengan reseptor seluler dan mengurangi respons imun.
Selain itu, virus ini mengeluarkan protein yang mengganggu jalur sinyal hilir yang diaktifkan oleh pengikatan reseptor sitokin, dengan demikian menghambat ekspresi gen antivirus dan memfasilitasi replikasi virus. MPXV juga dapat menghindari deteksi imun dengan memodulasi jalur sinyal sel inang yang terlibat dalam presentasi antigen dan pengenalan oleh sistem imun adaptif. Virus ini mengganggu presentasi antigen melalui kompleks histokompatibilitas utama (MHC) kelas I, baik dengan menurunkan ekspresi MHC kelas I pada sel yang terinfeksi atau dengan menghambat pemrosesan serta penyajian antigen virus. Ini mengurangi pengenalan sel yang terinfeksi oleh limfosit T sitotoksik (CTL), sehingga memungkinkan MPXV menghindari pengawasan imun dan menetapkan infeksi yang persisten.
Selain itu, MPXV telah berevolusi untuk menghindari deteksi oleh sistem imun adaptif. Virus ini dapat mengalami variasi antigenik, menghasilkan varian virus yang berbeda dengan profil antigenik yang berubah, yang menghindari pengenalan oleh antibodi netralisasi dan sel T. Variasi antigenik ini memungkinkan MPXV untuk lolos dari pengawasan imun dan bertahan dalam populasi inang. Virus juga dapat memodulasi ekspresi antigen virus pada permukaan sel yang terinfeksi, baik dengan menurunkan mesin presentasi antigen atau dengan menutupi epitop antigenik menggunakan protein virus. Hal ini mengurangi kerentanan sel yang terinfeksi terhadap pengenalan dan eliminasi oleh efektor imun, memungkinkan MPXV menetapkan infeksi yang persisten dalam tubuh inang.
MPXV juga telah mengembangkan mekanisme untuk menghindari apoptosis sel inang, memperpanjang kelangsungan hidup sel yang terinfeksi dan memfasilitasi replikasi serta penyebaran virus. Virus ini mengkode protein yang menghambat apoptosis, baik dengan mengganggu aktivasi jalur sinyal proapoptosis atau dengan secara langsung memblokir pelaksanaan kematian sel apoptosis. Ini memperpanjang masa hidup sel yang terinfeksi, memungkinkan MPXV bereplikasi dalam jumlah tinggi dan menyebar ke sel tetangga tanpa memicu pembersihan oleh sistem imun.
Secara keseluruhan, strategi penghindaran imun yang digunakan oleh MPXV menekankan kemampuan luar biasa virus ini untuk mengalahkan pertahanan imun inang dan menetapkan infeksi yang persisten. Memahami mekanisme molekuler di balik penghindaran imun ini sangat penting untuk pengembangan langkah-langkah penanggulangan yang efektif terhadap infeksi MPXV. Dengan mengungkap interaksi antara virus dan sistem imun inang, para peneliti dapat mengidentifikasi target baru untuk intervensi terapeutik dan merancang strategi untuk meningkatkan kekebalan inang serta mengendalikan penyebaran virus. Selain itu, wawasan mengenai mekanisme penghindaran imun MPXV dapat membantu desain vaksin generasi berikutnya yang mampu memicu respons imun yang kuat dan tahan lama terhadap penyakit infeksi yang sedang berkembang ini. Penelitian lebih lanjut mengenai imunopatogenesis infeksi MPXV akan sangat penting untuk meningkatkan pemahaman kita tentang interaksi antara virus dan inang, serta memperbaiki hasil klinis bagi individu yang terinfeksi.
Kesimpulan
Mpox, juga dikenal sebagai Monkeypox, adalah infeksi zoonotik yang disebabkan oleh virus Orthopoxvirus. Sejak kasus manusia pertama dilaporkan pada tahun 1970, Mpox telah menjadi ancaman kesehatan global, dengan lonjakan kasus signifikan pada tahun 2022 dan 2023. Penyebarannya terutama melalui kontak langsung dengan hewan atau manusia yang terinfeksi, dengan wabah terbaru menunjukkan transmisi yang lebih dominan melalui kontak seksual, terutama di kalangan laki-laki homoseksual atau biseksual. Meskipun kebanyakan kasus Mpox dapat sembuh dengan sendirinya, penyakit ini dapat menimbulkan gejala yang parah dan memerlukan penanganan medis intensif pada individu dengan kondisi kesehatan tertentu. Pemahaman yang mendalam tentang mekanisme replikasi virus dan respons imun tubuh sangat penting untuk pengembangan terapi yang efektif dan strategi pencegahan. Upaya global yang berkelanjutan dalam peningkatan kapasitas diagnostik, distribusi vaksin, dan edukasi publik tetap diperlukan untuk mengendalikan penyebaran Mpox di masa mendatang.
Daftar Pustaka
- Amoah, S., Mishina, M., Praphasiri, P., et al. (2019). Standard-dose intradermal influenza vaccine elicits cellular immune responses similar to those of intramuscular vaccine in men with and those without HIV infection. Journal of Infectious Diseases, 220(5), 743-751.
- Banuet-Martinez, M., Yang, Y., Jafari, B., Kaur, A., Butt, Z. A., Chen, H. H., Yanushkevich, S., Moyles, I. R., Heffernan, J. M., & Korosec, C. S. (2023). Monkeypox: A review of epidemiological modelling studies and how modelling has led to mechanistic insight. Epidemiology and Infection, 151, e121.
- Ben-Enukora, C., Oyero, O., Okorie, N., Odiboh, O. O., & Adeyeye, B. K. (2020). Analysis of 2017 risk communication on Human Monkey Pox outbreak in Nigeria’s news media. International Journal of Education and Information Technology, 14, 69-75.
- Branda, F., & Pierini, M. (2022). Monkeypox: EpiMPX surveillance system and open data with a special focus on European and Italian epidemic. Journal of Clinical Virology Plus, 2, 100114.
- Brown, K., & Leggat, P. A. (2016). Human monkeypox: Current state of knowledge and implications for the future. Tropical Medicine and Infectious Disease, 1, 8.
- Chaudhri, G., Tahiliani, V., Eldi, P., & Karupiah, G. (2015). Vaccine-induced protection against orthopoxvirus infection is mediated through the combined functions of CD4 T cell-dependent antibody and CD8 T cell responses. Journal of Virology, 89(3), 1889-1899.
- Centers for Disease Control and Prevention. Mpox: How it spreads. Retrieved from https://www.cdc.gov
- Chin, V., Ioannidis, J. P., Tanner, M. A., & Cripps, S. (2021). Effect estimates of COVID-19 non-pharmaceutical interventions are non-robust and highly model-dependent. Journal of Clinical Epidemiology, 136, 96-132.
- Gessain, A., Nakoune, E., & Yazdanpanah, Y. (2022). Monkeypox. The New England Journal of Medicine, 387(20), 1783-1793.
- Giovanetti, M., Cella, E., Moretti, S., Scarpa, F., Ciccozzi, A., Slavov, S. N., Benedetti, F., Zella, D., Ceccarelli, G., & Ciccozzi, M. (2023). Monitoring monkeypox: Safeguarding global health through rapid response and global surveillance. Pathogens, 12(10), 1153.
- Grosenbach, D. W., Honeychurch, K., Rose, E. A., et al. (2018). Oral tecovirimat for the treatment of smallpox. The New England Journal of Medicine, 379(1), 44-53.
- He, Y., Tang, Y., Wang, C., Zhou, Z., Li, W., & Tian, M. (2023). The global health threat of monkeypox virus: Understanding its biology, transmission, and potential therapeutic interventions. Infection and Drug Resistance, 16, 7759-7766.
- Ioannidis, J. P., Cripps, S., & Tanner, M. A. (2022). Forecasting for COVID-19 has failed. International Journal of Forecasting, 38(2), 423-438.
- Karagoz, A., Tombuloglu, H., Alsaeed, M., Tombuloglu, G., AlRubaish, A. A., Mahmoud, A., Smajlovic, S., Cordic, S., Rabaan, A. A., & Alsuhaimi, E. (2023). Monkeypox (mpox) virus: Classification, origin, transmission, genome organization, antiviral drugs, and molecular diagnosis. Journal of Infection and Public Health, 16(4), 531-541.
- Lucena-Neto, F. D., Falcão, L. F. M., Vieira-Junior, A. S., Moraes, E. C. S., David, J. P. F., Silva, C. C., Sousa, J. R., Duarte, M. I. S., Vasconcelos, P. F. C., & Quaresma, J. A. S. (2023). Monkeypox virus immune evasion and eye manifestation: Beyond eyelid implications. Viruses, 15(10), 2301.
- North Carolina Department of Health and Human Services. (2022, December 14). Mpox 2022 vaccine toolkit. Retrieved from https://www.ncdhhs.gov
- Scarpa, F., Sanna, D., Azzena, I., Cossu, P., Locci, C., Angeletti, S., Maruotti, A., Ceccarelli, G., Casu, M., & Fiori, P. L. (2022). Genetic variability of the monkeypox virus clade IIb B.1. Journal of Clinical Medicine, 11(21), 6388.
- Sherwat, A., Brooks, J. T., Birnkrant, D., & Kim, P. (2022). Tecovirimat and the treatment of monkeypox — past, present, and future considerations. The New England Journal of Medicine, 387(7), 579-581.
- Tasamba, J. (2022, June 1). Africa reports nearly 1,400 monkeypox cases: WHO. Anadolu Ajansi. Retrieved from https://www.aa.com.tr
- Vora, N. M., Li, Y., Geleishvili, M., Emerson, G. L., et al. (2015). Human infection with a zoonotic orthopoxvirus in the country of Georgia. The New England Journal of Medicine, 372(13), 1223-1230.
- World Health Organization. (2023, April 18). Mpox (monkeypox). Retrieved from https://www.who.int
- Centers for Disease Control and Prevention (CDC). Mpox | Poxvirus. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://www.cdc.gov/poxvirus/mpox/index.html
- World Health Organization (WHO). Mpox (Monkeypox) Outbreak. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://www.who.int/news-room/fact-sheets/detail/monkeypox
- Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Kemenkes RI Umumkan Wabah Cacar Monyet Pertama di Indonesia. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://www.kemkes.go.id/article/view/23030100004/kemenkes-ri-umumkan-wabah-cacar-monyet-pertama-di-indonesia.html
- Eijkman Institute for Molecular Biology. Pemantauan Genomik SARS-CoV-2 di Indonesia. Diakses pada 25 Agustus 2024, dari https://www.eijkman.go.id/
- Dyer, O. (2023). WHO Declares Monkeypox a Public Health Emergency of International Concern. BMJ, 378, e071007. doi: 10.1136/bmj.o1826
- Kidd, S., et al. (2022). Mpox Transmission in Healthcare Settings: A Review. Lancet Infect Dis. doi: 10.1016/S1473-3099(22)00574-3
- Rizk, J.G., et al. (2022). Pharmaco-Therapeutics for the New Age: Monoclonal Antibodies, Vaccines, and Molecular Therapies for Monkeypox. Lancet Infect Dis. doi: 10.1016/S1473-3099(22)00574-3
- Thornhill, J.P., et al. (2022). Monkeypox Virus Infection in Humans across 16 Countries — April–June 2022. N Engl J Med, 387(8), 679-691. doi: 10.1056/NEJMp2212931
- Nature Reviews. (2023). Key Advances in Monkeypox Research in 2023. Nature Reviews Disease Primers, 9(1), 19. doi: 10.1038/s41392-023-01675-2
- Lu, J., Xing, H., Wang, C., Tang, M., Wu, C., Ye, F., Yin, L., Yang, Y., Tan, W., & Shen, L. (2023). Mpox (formerly monkeypox): Pathogenesis, prevention, and treatment. Signal Transduction and Targeted Therapy, 8(458). https://doi.org/10.1038/s41392-023-01675-2
- Petersen, B.W., et al. (2023). Clinical Management of Monkeypox in the 2022 Outbreak. Journal of Clinical Medicine, 13(8), 2234. doi: 10.3390/jcm13082234
- Dokter Ensiklopedia. (2024). Apakah Mpox Lebih Berbahaya dari yang Kita Kira? Diakses pada 2 September 2024, dari https://dokterensiklopedia.com/apakah-mpox-lebih-berbahaya-dari-yang-kita-kira/