Cara Otak Menghadapi Trauma: Mengapa Kita Tak Bisa Lupa?

Rahasia Otak dalam Menghadapi Trauma: Mengapa Kita Tak Bisa Lupa?

Trauma adalah pengalaman emosional yang meninggalkan dampak mendalam pada kehidupan seseorang, baik secara psikologis maupun neurologis. Penelitian terbaru memberikan wawasan yang lebih mendalam tentang bagaimana otak memproses dan menyimpan ingatan terkait dengan trauma, terutama terkait memori rasa takut. Banyak individu yang mengalami trauma menunjukkan gejala PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) yang membuat mereka sulit melepaskan diri dari kenangan traumatis, bahkan setelah waktu yang lama berlalu. Dalam artikel ini, kita akan mengeksplorasi bagaimana mekanisme otak bekerja dalam menyimpan, mengingat, dan memproses memori rasa takut serta apa implikasinya bagi mereka yang menderita PTSD.

Memori Trauma: Antara Mengingat dan Melupakan

Sebuah penelitian yang diterbitkan di Nature Communications menemukan bahwa trauma dapat menyebabkan dua respons utama yang tampak bertentangan di otak: kesulitan untuk mengingat dengan detail dan ketidakmampuan untuk melupakan secara keseluruhan. Temuan ini membuka wawasan baru dalam memahami gangguan stres pasca trauma (PTSD). Ketika seseorang mengalami kejadian traumatis, otak awalnya menyimpan pengalaman tersebut sebagai memori asosiatif, yaitu kenangan yang bersifat umum dan tidak spesifik pada urutan waktu kejadian. Sebagai contoh, seseorang yang mengalami kecelakaan mobil mungkin merasakan ketakutan umum saat melihat jalanan, tanpa harus mengingat urutan pasti peristiwa yang terjadi.

Namun, seiring berjalannya waktu, otak mulai memproses ulang ingatan tersebut melalui korteks prefrontal dorsolateral, bagian otak yang terlibat dalam pemikiran logis dan pengambilan keputusan. Proses ini bertujuan untuk merapikan memori trauma agar menjadi lebih spesifik, yaitu memori episodik yang terorganisir sesuai dengan urutan kejadian. Proses ini penting karena membantu otak mengurangi rasa takut yang berlebihan. Jika memori rasa takut tetap asosiatif dan tidak diorganisir, individu akan mengalami generalisasi ketakutan terhadap banyak hal, bahkan yang sebenarnya tidak berbahaya.

Penelitian ini juga menunjukkan bahwa pada orang yang memiliki kecemasan tinggi atau berisiko mengalami PTSD, korteks prefrontal dorsolateral mungkin tidak bekerja dengan baik. Akibatnya, mereka tidak mampu merapikan memori rasa takut, sehingga terus menerus merasakan rasa takut yang general dan tidak spesifik. Ini menjelaskan mengapa sebagian orang mampu pulih dari trauma, sementara yang lain terjebak dalam rasa takut yang tak kunjung reda.

Mekanisme Otak dalam Menyimpan Memori Rasa Takut

Para ilmuwan juga telah mempelajari secara rinci bagaimana trauma memengaruhi otak manusia secara fisik. Penelitian dari National Institute for Physiological Sciences di Jepang menunjukkan bahwa otak membentuk jaringan saraf khusus untuk menyimpan memori traumatis. Melalui teknik pencitraan dua foton dan pembelajaran mesin, para peneliti dapat melihat bagaimana otak membentuk dan mengambil ingatan asosiatif yang terkait dengan rasa takut. Mereka menemukan bahwa salah satu bagian otak yang berperan penting dalam pengambilan memori rasa takut adalah bagian dorsal dari medial prefrontal cortex (dmPFC).

Neuron di dmPFC menjadi sangat aktif ketika seseorang mengingat pengalaman traumatis. Ketika dmPFC diaktifkan, otak secara otomatis merespons dengan tanda-tanda fisik ketakutan, seperti peningkatan detak jantung, meningkatkan laju penapasan, meningkatkan tekanan darah dan gemetar. Namun, ketika aktivitas di dmPFC ditekan, respons ketakutan tersebut juga menurun. Ini menunjukkan bahwa dmPFC memainkan peran sentral dalam menghubungkan pengalaman trauma masa lalu dengan respons emosional saat ini.

Penelitian ini juga menemukan bahwa pada pasien dengan PTSD, jaringan saraf yang bertanggung jawab untuk memproses memori rasa takut mengalami gangguan. Neuron-neuron yang terlibat dalam pembentukan memori rasa takut menjadi kurang terkoordinasi, menyebabkan respons ketakutan yang tidak terkendali setiap kali mereka menghadapi pemicu trauma. Misalnya, seseorang yang trauma akibat kekerasan fisik mungkin merasa cemas atau takut setiap kali melihat seseorang dengan postur tubuh yang mirip dengan pelaku kekerasan, meskipun situasi tersebut sebenarnya tidak berbahaya.

Mengapa Trauma Dapat Bertahan Lama?

Trauma memiliki dampak jangka panjang pada otak, dan penelitian dari University of California, Riverside, memberikan penjelasan tentang bagaimana memori rasa takut yang terkait dengan trauma bisa bertahan selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Penelitian ini menemukan bahwa ingatan trauma jangka panjang disimpan di dalam korteks prefrontal (PFC), bagian dari otak yang bertanggung jawab atas pengambilan keputusan dan kontrol emosi. Neuron-neuron di PFC secara bertahap memperkuat hubungan mereka setelah trauma terjadi, yang memungkinkan otak menyimpan memori rasa takut secara permanen.

Ini menjelaskan mengapa seseorang bisa merasakan ketakutan yang sangat kuat terhadap situasi tertentu bahkan bertahun-tahun setelah peristiwa traumatis terjadi. Ketika seseorang mengingat peristiwa trauma yang sudah lama terjadi, neuron-neuron di PFC diaktifkan kembali, memicu respons emosional yang mirip dengan yang dialami saat kejadian tersebut terjadi. Ini juga menjelaskan mengapa peristiwa trauma yang lama dapat tetap memengaruhi perilaku dan kesehatan mental seseorang, meskipun waktu sudah berlalu.

Dampak Trauma pada Kemampuan Otak Memproses Informasi

Trauma tidak hanya memengaruhi ingatan, tetapi juga mempengaruhi bagaimana otak memproses informasi secara keseluruhan. Penelitian dari University of Rochester menemukan bahwa individu yang mengalami trauma seringkali kesulitan membedakan antara situasi yang aman dan situasi yang berbahaya. Otak mereka cenderung merespons semua rangsangan yang berhubungan dengan trauma dengan rasa takut, meskipun rangsangan tersebut sebenarnya tidak menimbulkan ancaman.

Dalam penelitian ini, pasien yang memiliki trauma diuji dengan menggunakan situasi lingkaran yang berbeda. Satu lingkaran dihubungkan dengan ancaman, sementara lingkaran lainnya tidak. Pada pasien tanpa PTSD, otak dengan mudah bisa membedakan lingkaran mana yang berbahaya dan mana yang tidak. Namun, pada pasien dengan PTSD, otak menunjukkan respons yang sama terhadap semua lingkaran, menunjukkan bahwa mereka kesulitan membedakan mana yang aman dan mana yang berbahaya.

Penemuan ini penting karena menjelaskan mengapa pasien PTSD cenderung menghindari banyak situasi dalam kehidupan nyata yang sebenarnya aman. Mereka tidak mampu memproses informasi dengan cara yang benar karena otak mereka telah terganggu oleh trauma. Penelitian ini juga menunjukkan bahwa bagian otak seperti hipokampus dan amigdala, yang berperan dalam mengatur emosi dan ingatan, mengalami gangguan pada pasien dengan PTSD. Akibatnya, mereka terus-menerus merasa cemas dan takut meskipun tidak ada ancaman yang nyata.

Potensi Terapi Baru untuk PTSD

Dari berbagai penelitian di atas, menjadi jelas bahwa trauma memiliki dampak yang kompleks dan mendalam pada otak manusia. Namun, temuan-temuan baru ini juga membuka peluang bagi pengembangan terapi yang lebih efektif untuk mengobati PTSD dan gangguan terkait trauma lainnya. Dengan memahami bagaimana otak memproses dan menyimpan memori rasa takut, peneliti dapat mengembangkan terapi yang menargetkan bagian-bagian otak yang mengalami gangguan setelah trauma.

Salah satu pendekatan yang sedang dipelajari adalah terapi yang berfokus pada mengubah cara otak mengintegrasikan memori episodik setelah trauma. Dengan merangsang korteks prefrontal dorsolateral, misalnya, terapis dapat membantu pasien untuk mengorganisir ulang ingatan traumatis mereka sehingga menjadi lebih spesifik dan tidak lagi memicu ketakutan yang berlebihan.

Kesimpulannya, penelitian tentang bagaimana otak merespons trauma memberikan wawasan yang sangat penting bagi pemahaman kita tentang PTSD dan gangguan kecemasan lainnya. Dengan pengetahuan ini, kita dapat mengembangkan intervensi yang lebih efektif untuk membantu mereka yang menderita trauma agar bisa pulih dan melanjutkan hidup tanpa dibebani oleh ingatan masa lalu yang menyakitkan.

Daftar Pustaka

  1. Cortese, A., & Koizumi, A. (2024). Mechanisms of fear memory processing: A functional magnetic resonance imaging study. Nature Communications.
  2. Agetsuma, M., et al. (2022). Prefrontal cortex neuronal networks in fear memory retrieval. National Institute for Physiological Sciences (NIPS).
  3. Cho, J.-H., et al. (2022). Neocortical synaptic engrams for remote contextual memories. Nature Neuroscience, 25(8), 1124-1132.
  4. Jimenez, B. S., et al. (2022). Brain mechanisms for differentiating safety and threat after trauma. Del Monte Institute for Neuroscience, University of Rochester.
  5. Suarez, B. S., et al. (2022). Neural responses in PTSD patients to threat cues: An MRI study. Science Daily.
dr. Maria Alfiani Kusnowati
Author: dr. Maria Alfiani Kusnowati

Dokter Umum. Universitas Kristen Maranatha angkatan 2013. Internship di RSUD Waled dan Puskesmas Losari Kabupaten Cirebon (2019). Bekerja di RS Bunda Pengharapan Merauke, Papua Selatan (2020-2023).

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Scroll to Top